Politik Luar Negeri Menurut Moh.Hatta
Bung Hatta sebagai tokoh organisasi dan
partai politik
Bung Hatta adalah nama salah seorang dari
beribu pahlawan yang pernah memperjuangkan kemerdekaan dan kemajuan Indonesia.
Sosok Bung Hatta telah menjadi begitu dekat dengan hati rakyat Indonesia karena
perjuangan dan sifatnya yang begitu merakyat. Besarnya peran beliau dalam
perjuangan negeri ini sehingga ia disebut sebagai salah seorang bapak bangsa
Indonesia.
Berbagai tulisan dan kisah perjuangan
Muhammad Hatta telah ditulis dan dibukukan, mulai dari masa kecil, remaja,
dewasa dan perjuangan beliau untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Namun ada
hal yang rasanya perlu sedikit digali dan dipahami yaitu melihat Bung Hatta
sebagai tokoh organisasi dan partai politik, hal ini dikaitkan dengan usaha
melihat perkembangan kegiatan politik dan ketokohan politik di dunia politik
Indonesia sekarang maka pantas rasanya kita ikut melihat perjuangan dan
perjalanan kegiatan politik Bung Hatta.
Setelah perang dunia I berakhir generasi
muda Indonesia yang berprestasi makin banyak yang mendapat kesempatan mengenyam
pendidikan luar negeri seperti di Belanda, Kairo (Mesir). Hal ini diperkuat
dengan diberlakukannya politik balas budi oleh Belanda. Bung Hatta adalah salah
seorang pemuda yang beruntung, beliau mendapat kesempatan belajar di Belanda.
Kalau kita memperhatikan semangat berorganisasi Bung Hatta, sebenarnya telah
tumbuh sewaktu beliau berada di Indonesia. Beliau pernah menjadi ketua Jong
Sematera (1918-1921) dan semangat ini makin membara dengan asahan dari kultur
pendidikan Belanda/Eropa yang bernapas demokrasi dan keterbukaan.
Keinginan dan semangat berorganisasi Bung
Hatta makin terlihat sewaktu beliau mulai aktif di kelompok Indonesische
Vereeniging yang merupakan perkumpulan pemuda-pemuda Indonesia yang memikirkan
dan berusaha memajukan Indonesia, bahkan dalam organisasi ini dinyatakan bahwa
tujuan mereka adalah : “ kemerdekaan bagi Indonesia “. Dalam organisasi
yang keras dan anti penjajahan ini Bung Hatta makin “tahan banting” karena
banyaknya rintangan dan hambatan yang mereka hadapi.
Walau mendapat tekanan, organisasi
Indonesische Vereeniging tetap berkembang bahkan Januari 1925 organisasi ini
dinyatakan sebagai sebuah organisasi politik yang kemudian dinamai Perhimpunan
Indonesia (PI). Dan dalam organisasi ini Bung Hatta bertindak sebagai
Pemimpinnya.
Keterlibatan Bung Hatta dalam organisasi
dan partai poltik bukan hanya di luar negeri tapi sekembalinya dari Belanda
beliau juga aktif di PNI (Partai Nasional Indonesia) yang didirikan Soekarno
tahun 1927. Dalam organisasi PNI, Bung Hatta menitik beratkan kegiatannya
dibidang pendidikan. Beliau melihat bahwa melalui pendidikanlah rakyat akan
mampu mencapai kemerdekaan. Karena PNI dinilai sebagai partai yang radikal dan
membahayakan bagi kedudukan Belanda, maka banyak tekanan dan upaya untuk
mengurangi pengaruhnya pada rakyat. Hal ini dilihat dari propaganda dan
profokasi PNI tehadap penduduk untuk mengusakan kemerdekaan. Hingga akhirnya
Bunga Karno di tangkap dan demi keamanan organisasi ini membubarkan diri.
Tak lama setetah PNI (Partai Nasional
Indonesia) bubar, berdirilah organisasi pengganti yang dinamanakan Partindo
(Partai Indonesia). Mereka memiliki sifat organisasi yang radikal dan
nyata-nyata menentang Belanda. Hal ini tak di senangi oleh Bung Hatta. Karena
tak sependapat dengan Partindo beliau mendirikan PNI Pendidikan (Partai
Nasional Indonesia Pendidikan) atau disebut juga PNI Baru. Organisasi ini
didirikan di Yogyakarta bulan Agustus 1932, dan Bung Hatta diangkat sebagai
pemimpin. Organisasi ini memperhatikan “ kemajuan pendidikan bagi rakyat
Indonesia, menyiapkan dan menganjurkan rakyat dalam bidang kebatinan dan
mengorganisasikannya sehingga bisa dijadakan suatu aksi rakyat dengan landasan
demokrasi untuk kemerdekaan “.
Organisasi ini berkembang dengan pesat,
bayangkan pada kongres I di Bandung 1932 anggotanya baru 2000 orang dan setahun
kemudian telah memiliki 65 cabang di Indonesia. Organisasi ini mendapat
pengikut dari penduduk desa yang ingin mendapat dan mengenyam pendidikan. Di
PNI Pendidikan Bung Hatta bekerjasama dengan Syahrir yang merupakan teman
akrabnya sejak di Belanda. Hal ini makin memajukan organisasi ini di dunia
pendidikan Indonesia waktu itu. Kemajuan, kegiatan dan aksi dari PNI Pendidikan
dilihat Belanda sebagai ancaman baru tehadap kedudukan mereka sebagai penjajah
di Indonesia dan mereka pun mengeluarkan beberapa ketetapan ditahun 1933 di
antaranya:
§
Polisi diperintahkan bertindak keras
terhadap rapat-rapat PNI Pendidikan.
§
27 Juni 1933, pegawai negeri dilarang
menjadi anggota PNI Pendidikan.
§
1 Agustus 1933, diadakan pelarangan
rapat-rapat PNI Pendidikan di seluruh Indonesia.
Akhirnya ditahun 1934 Partai Nasional
Indonesia Pendidikan dinyatakan Pemerintahan Kolonial Belanda di bubarkan dan dilarang
keras bersama beberapa organisasi lain yang dianggap membahayakan
seperti : Partindo dan PSII. Ide-ide PNI Pendidikan yang dituangkan dalam
surat kabar ikut di hancurkan dan surat kabar yang menerbitkan ikut di bredel.
Namun secara keorganisasian, Hatta sebagai pemimpin tak mau menyatakan
organisasinya telah bubar. Ia tetap aktif dan berjuang untuk kemajuan
pendidikan Indonesia.
Soekarno yang aktif di Partindo dibuang ke
Flores diikuti dengan pengasingan Hatta dan Syahrir. Walau para pemimpin di asingkan
namun para pengikut mereka tetap konsisten melanjutkan perjuangan partai. PNI
Pendidikan tetap memberikan kursus-kursus, pelatihan-pelatuhan baik melalui
tulisan maupun dengan kunjungan kerumah-rumah penduduk.
Dalam sidang masalah PNI Pendidikan M.Hatta,
Syahrir, Maskun, Burhanuddin ,Bondan dan Murwoto dinyatakan bersalah dan
dibuang ke Boven Digul (Papua). Demi harapan terciptanya ketenangan di daerah
jajahan. Walau telah mendapat hambatan yang begitu besar namun perjuangan Hatta
tak hanya sampai disitu, beliau terus berjuang dan salah satu hasil perjuangan
Hatta dan para pahlawan lain tersebut adalah kemerdekaan yang telah kita raih
dan kita rasakan sekarang.
Sebagai tulisan singkat mengenai sejarah
ketokohan Muhammad Hatta di organisasi dan partai politik yang pernah beliau
geluti, kita haruslah dapat mengambil pelajaran dari hal ini. Karena sejarah
tak berarti apa-apa bila kita tak mampu mengambil manfaat dan nilai-nilai
positif didalamnya. Dari kehidupan Hatta di dunia politik kita bisa melihat bahwa :
Munculnya seorang tokoh penting dan memiliki jiwa patriot yang tangguh dan
memikirkan kehidupan orang banyak serta memajukan bangsa dan negara “bukan
hanya muncul dalam satu malam” atau bukanlah tokoh kambuhan yang muncul begitu
saja, dan bukanlah sosok yang mengambil kesempatan untuk tampil sebagai
pahlawan dan sosok pemerhati masyarakat. Tapi tokoh yang dapat kita jadikan
contoh dan panutan dalam organisasi, partai, dan kehidupan berbangsa dan
bernegara yang sesunguhnya adalah seorang sosok yang lahir dan tumbuh dalam
lingkungan masyarakat, ia terlatih untuk mampu memahami keinginan dan cita-cita
masyarakat, serta bertindak dengan menggunakan ilmu dan iman.
Seiring dengan meruaknya wacana demokrasi,
terutama di era reformasi kita bisa melihat bahwa di Indonesia berkembang
berbagai partai baru yang jumlahnya telah puluhan. Dalam kenyataanya
memunculkan nama-nama baru sebagai tokoh, elit partai, elit politik yang
berpengaruh di berbagai partai tersebut. Ada juga tokoh politik yang merupakan
wajah-wajah lama yang konsisten di partainya atau beralih membentuk partai
baru. Apakah mereka sudah pantas dikatakan sebagai tokoh, elite politik / elite
partai?. Sebagai salah satu sosok tokoh ideal, dengan mencontoh ketokohan Bung
Hatta kita harus mampu melihat berapa persen di antara tokoh-tokoh, orang-orang
penting, elite politik / elite partai di Indonesia sekarang yang telah
memperhatikan kehidupan masyarakat, berapa persen di antara mereka yang sudah
melakukan usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat Indonesia baik di bidang
ekonomi, pendidikan, politik dan lain-lain.
Politik Luar Negeri Menurut Kabinet Natsir
Kabinet Natsir memerintah antara tanggal 6 September 1950 – 20 Maret 1951. Setelah bentuk negara
RIS dibubarkan, kabinet pertama yang membentuk NKRI adalah kabinet Natsir yang
merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh Masyumi dan PNI sebagai partai kedua terbesar menjadi
oposisi. PNI menolak ikut serta dalam komite karena merasa tidak diberi
kedudukan yang tepat sesuai dengan kekuatannya. Tokoh-tokoh terkenal yang
mendukung kabinet ini adalah Sri Sultan HB IX, Mr. Asaat, Mr. Moh Roem, Ir Djuanda dan Dr. Sumitro Djojohadikusuma. Program pokoknya
adalah :
§
Menggiatkan usaha keamanan dan
ketenteraman
§
Konsolidasi dan menyempurnakan
pemerintahan
§
Menyempurnakan organisasi angkatan perang
§
Mengembangkan dan memperkuat ekonomi
kerakyatan
§
Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian
Barat
Pada masa kabinet ini, terjadi
pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, masalah dalam keamanan
negeri, seperti gerakan DI/TII, Gerakan Andi
Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS. Perundingan masalah Irian Barat juga mulai dirintis,
tetapi mengalami jalan buntu. Pada tanggal 22 Januari 1951, parlemen menyampaikan
mosi tidak percaya dan mendapat kemenangan sehingga pada tanggal 21
Maret 1951, Perdana Menteri Natsir mengembalikan
mandatnya kepada Presiden.
Kabinet Natsir
masa bakti : 6 September 1950-27 April 1951
No
|
Jabatan
|
Nama
Menteri
|
Partai
Politik
|
1
|
|||
Non partai
|
|||
2
|
Non partai
|
||
3
|
|||
4
|
Non partai
|
||
5
|
|||
6
|
Faksi Demokratik
|
||
7
|
|||
8
|
|||
9
|
|||
10
|
|||
11
|
|||
12
|
Non partai
|
||
13
|
|||
14
|
|||
15
|
|||
16
|
Non partai
|
||
17
|
Catatan:
1.
Pada tanggal 8 Desember 1950 Abdul Halim mundur karena alasan kesehatan,
perannya digantikan oleh Hamengku Buwono IX
2.
Pada tanggal 18 Desember 1950 mundur karena partainya (PSII) keluar dari kabinet
Politik
Luar Negeri Menurut Kabinet Sukiman
Setelah Kabinet Natsir
mengembalikan mandatnya pada presiden, presiden menunjuk Sartono (Ketua PNI)
menjadi formatur. Hampir satu bulan beliau berusaha membentuk kabinet koalisi
antara PNI dan Masyumi. Namun usahanya itu mengalami kegagalan, sehingga ia
mengembalikan mandatnya kepada presiden setelah bertugas selama 28 hari (28
Maret-18 April 1951).
Presiden Soekarno kemudian
menunjukan Sidik Djojosukatro ( PNI ) dan Soekiman Wijosandjojo ( Masyumi )
sebagai formatur dan berhasil membentuk kabinet koalisi dari Masyumi dan PNI.
Kabinet ini terkenal dengan nama Kabinet Soekiman ( Masyumi )- Soewirjo ( PNI )
yang dipimpin oleh Soekiman.
Program pokok dari Kabinet
Soekiman adalah:
1. Menjamin keamanan dan ketentraman
2. Mengusahakan kemakmuran rakyat dan
memperbaharui hukum agraria
agar sesuai dengan kepentingan petani.
3. Mempercepat persiapan pemilihan umum.
4. Menjalankan politik luar negeri secara bebas
aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
5. Di bidang hukum,
menyiapkan undang – undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja
sama,penetapan upah minimum,dan penyelesaian pertikaian buruh.
Hasil atau prestasi yang
berhasil dicapai oleh Kabinet Soekiman yaitu tidak terlalu berarti sebab
programnya melanjutkan program Natsir hanya saja terjadi perubahan skala
prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti awalnya program menggiatkan
usaha keamanan dan ketentraman selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin
keamanan dan ketentraman.
Kendala/ Masalah yang
dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut.
Adanya Pertukaran Nota
Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar
Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer
dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act
(MSA). Dimana dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI
karena RI diwajibkan memperhatiakan kepentingan Amerika. Tindakan Sukiman
tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas
aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan
Indonesia ke dalam blok barat.
Adanya krisis moral yang
ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan
dan kegemaran akan barang-barang mewah.
Masalah Irian barat belum
juga teratasi.
Hubungan Sukiman dengan
militer kurang baik tampak dengan kurang tegasnya tindakan pemerintah
menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan.
Berakhirnya kekuasaan
kabinet disebabkan oleh pertentangan dari Masyumi dan PNI atas tindakan Sukiman
sehingga mereka menarik dukungannya pada kabinet tersebut. DPR akhirnya
menggugat Sukiman dan terpaksa Sukiman harus mengembalikan mandatnya kepada
presiden.
Politik
Luar Negeri Menurut Kabinet Wilopo
Pada tanggal 1 Maret 1952,
Presiden Soekarno menunjukan Sidik Djojosukarto ( PNI ) dan Prawoto
Mangkusasmito ( M asyumi ) menjadi formatur, namun gagal. Kemudian menunjuk
Wilopo dari PNI sebagai formatur. Setelah bekerja selama dua minggu berhasil
dibentuk kabinet baru di bawah pimpinan Perdana Mentari Wilopo,sehingga bernama
kabinet Wilopo. Kabinet ini mendapat dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI.
Program pokok dari Kabinet
Wilopo adalah:
1. Program dalam negeri : Menyelenggarakan pemilihan umum
(konstituante, DPR, dan DPRD), meningkatkan kemakmuran rakyat, meningkatkan
pendidikan rakyat, dan pemulihan keamanan.
2. Program luar negeri : Penyelesaian
masalah hubungan Indonesia-Belanda, Pengembalian Irian Barat ke pangkuan
Indonesia, serta menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
Kabinet ini tidak mempunyai
prestasi yang bagus, justru sebaliknya banyak sekali kendala yang muncul antara
lain sebagai berikut.
Adanya kondisi krisis
ekonomi yang disebabkan karena jatuhnya harga barang-barang eksport Indonesia
sementara kebutuhan impor terus meningkat.
Terjadi defisit kas negara
karena penerimaan negara yang berkurang banyak terlebih setelah terjadi
penurunana hasil panen sehingga membutuhkan biaya besar untuk mengimport beras.
Munculnya gerakan sparatisme
dan sikap provinsialisme yang mengancam keutuhan bangsa. Semua itu disebabkan
karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi dana dari pusat ke daerah yang tidak
seimbang.
Terjadi peristiwa 17 Oktober
1952. Merupakan upaya pemerintah untuk menempatkan TNI sebagai alat sipil
sehingga muncul sikap tidak senang dikalangan partai politik sebab dipandang
akan membahayakan kedudukannya. Peristiwa ini diperkuat dengan munculnya
masalah intern dalam TNI sendiri yang berhubungan dengan kebijakan KSAD A.H
Nasution yang ditentang oleh Kolonel Bambang Supeno sehingga ia mengirim petisi
mengenai penggantian KSAD kepada menteri pertahanan yang dikirim ke seksi pertahanan
parlemen sehingga menimbulkan perdebatan dalam parlemen. Konflik semakin
diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto
dalam memulihkan keamanana di Sulawesi Selatan. Keadaan ini menyebabkan muncul
demonstrasi di berbagai daerah menuntut dibubarkannya parlemen. Sementara itu
TNI-AD yang dipimpin Nasution menghadap presiden dan menyarankan agar parlemen
dibubarkan. Tetapi saran tersebut ditolak. Muncullah mosi tidak percaya dan
menuntut diadakan reformasi dan reorganisasi angkatan perang dan mengecam
kebijakan KSAD. Inti peristiwa ini adalah gerakan sejumlah perwira angkatan
darat guna menekan Sukarno agar membubarkan kabinet.
Munculnya peristiwa Tanjung
Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Sesuai
dengan perjanjian KMB pemerintah mengizinkan pengusaha asing untuk kembali ke
Indonesia dan memiliki tanah-tanah perkebunan. Tanah perkebunan di Deli yang
telah ditinggalkan pemiliknya selama masa Jepang telah digarap oleh para petani
di Sumatera Utara dan dianggap miliknya. Sehingga pada tanggal 16 Maret 1953
muncullah aksi kekerasan untuk mengusir para petani liar Indonesia yang
dianggap telah mengerjakan tanah tanpa izin tersebut. Para petani tidak mau
pergi sebab telah dihasut oleh PKI. Akibatnya terjadi bentrokan senjata dan
beberapa petani terbunuh. Intinya peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa
bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar mengenai persoalan
tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli).
Akibat peristiwa Tanjung
Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap
kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden
pada tanggal 2 Juni 1953.
Mendayung
diantara Dua Karang
Pidato Bung Hatta sebagai
Perdana Menteri Republik Indonesia di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat (BP-KNIP) tanggal 2 September 1948.
… politik luar negeri
Republik Indonesia disebut politik bebas aktif. Bebas artinya menentukan jalan
sendiri, tidak terpengaruh oleh pihak manapun; aktif artinya menuju perdamaian
dunia dan bersahabat dengan segala bangsa … (Bung Hatta)
Berikut cuplikan pidatonya,
Saudara Ketua,…
Tindakan Belanda pada waktu
akhir ini menyatakan benar, bahwa Belanda dalam politiknya ingin kembali kepada
cita-cita “Rijksverband”-nya yang dahulu, yang sebenarnya tak pernah
dilepaskannya. Dan politiknya itu mau dipaksakannya kepada kita dengan
mengadakan satu “fait accompli”, yaitu dengan menyorongkan suatu pemerintahan
federal sementara yang dibentuknya secara unilateral kepada kita.
Dan mungkin pula
pemerintahan federal sementara itu diperalat lagi untuk menindas Republik
Indonesia. Saudara-saudara kita di daerah Malino dan daerah pendudukan hendak
diperkuda untuk memaksakan kemauan Belanda kepada Republik Indonesia. Belanda
menjalankan politik “devide et impera in optima forma”
Kita jangan bingung dan
jangan gelisah melihat tindakan Belanda yang semacam itu, karena segala
perbuatannya itu tidak menunjukkan suatu kedudukan yang kuat. Kita harus tenang
dan tetap memegang pendirian yang telah kita ambil. Janganlah kita dapat
diombang-ambingkan oleh “maneuver” Belanda itu
Tetapi kedudukan kita yang
kuat itu diperlemah oleh kekusutan di dalam, oleh pertentangan politik yang
semakin lama semakin hebat, seolah-olah kawan seperjuangan yang berlainan faham
dipandang musuh yang lebih besar daripada Belanda sendiri. Sentimen terlalu
diperhebat sehingga lupa pada kenyataannya, bahwa kemerdekaan kita hanya bisa
selamat apabila kita dapat menyiapkan suatu benteng persatuan yang kokoh.
Keadaan-keadaan yang akhir
ini menunjukkan bahwa kesulitan-kesulitan kita ke dalam sangat besar. Tambahan
lagi karena perputaran pendirian dalam kalangan FDR, dari pembela politik
Linggarjati dan Renville jadi penentangnya.
Dari kalangan FDR yang
selama ini mati-matian membela politik Renville terdengar suara yang
mengusulkan supaya Persetujuan Renville dibatalkan dan perundingan dengan
Belanda diputuskan. Kalangan ini menganjurkan supaya Republik Indonesia yang
perjuangannya adalah menentang imperialisme, terus terang memilih tempat pada
front anti imperialisme, terus terang memilih tempat pada front anti imperialis
yang dipimpin oleh Sovyet-Rusia untuk menentang imperialisme.
Jika ditinjau sepintas lalu
maka nampaklah suatu keganjilan politik. Golongan yang bertanggung jawab
tentang melahirkan Renville, sekarang membatalkannya. Dan golongan yang
semulanya menentang Renville sekarang berusaha menyelenggarakannya oleh karena
Renville itu telah diterima oleh Negara.
Situasi yang seperti ini
sudah tentu melemahkan pendirian kita dalam menghadapi perundingan dengan
Belanda. Situasi ini sebenarnya timbul sebagai akibat pergolakan politik
internasional yang dikuasai oleh pertentangan Amerika-Russia.
Tetapi mestikah kita bangsa
Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan Negara kita, hanya harus
memilih pro Russia atau pro Amerika ? Apakah tak ada pendirian yang lain harus
kita ambil dalam mengejar cita-cita kita ?
Pemerintah berpendapat bahwa
pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi obyek dalam
pertarungan politik internasional, melainkan kita harus menjadi subyek yang
berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita
sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya.
Perjuangan kita harus
diperjuangkan atas dasar semboyan kita yang lama : Percaya akan diri sendiri
dan berjuang atas kesanggupan kita sendiri. Ini tidak berarti bahwa kita tidak
akan mengambil keuntungan daripada pergolakan politik internasional. Memang
tiap-tiap politik untuk mencapai kedudukan Negara yang kuat ialah mempergunakan
pertentangan internasional yang ada itu untuk mencapai tujuan nasional sendiri.
Belanda berbuat begitu, ya segala bangsa sebenarnya berbuat semacam itu untuk
mencapai tujuan nasionalnya sendiri, apa sebab kita tidak melakukannya ?
Tiap-tiap orang diantara
kita tentu ada mempunyai simpati terhadap golongan ini atau golongan itu, akan
tetapi perjuangan bangsa tidak bisa dipecah dengan menuruti simpati saja,
tetapi hendaknya didasarkan kepada “realitiet”, kepada kepentingan Negara
setiap waktu. Sovyet Russia sendiri memberi contoh kepada kita, bahwa politik
internasional tidak bisa dihadapi dengan sentiment belaka, tetapi dengan
realitiet dan dengan logika yang rasional.
Dalam tahun 1935, tatkala
Sovyet Russia menghadapi arus fasis, ia merobah haluannya yang radikal (dalam)
menentang Negara-negara demokrasi Barat dan menganjurkan kepada kaum komunis di
luar Russia untuk memberhentikan serangannya kepada pemerintah-pemerintah
kapitalis dan beserta dengan mereka mengadakan suatu “Volksfront-politik” untuk
menentang fasis.
Malahan kepada bangsa-bangsa
yang terjajah di waktu itu dianjurkan supaya mengurangi perjuangannya “yang
tajam” menentang imperialisme colonial, melepas sementara waktu cita-cita
kemerdekaan dan membantu membuat “volksfront” yang dianjurkan tadi.
Dalam tahun 1939 Sovyet
Russia mengadakan perjanjian non-agresi dengan Nazi-Jerman, dan dengan
perjanjian itu Russia selama 18 bulan terpelihara dari serangan Hitler;
sementara itu ia dapat memperkuat alat pertahanannya. Timbangan yang rasionil
memaksa Sovyet Russia mengadakan perjanjian dengan musuhnya. Dan apabila
politik hanya didasarkan sentimen yang demikian itu tentu tidak mungkin
terjadi.
Tentang perjuangan
Indonesia, memang dapat dinyatakan “dua aliran politik” yang berlainan, yang
pada dasarnya sama kuatnya; jika dipandang dari pokok pahamnya masing-masing.
Jika perjuangan ditinjau
dari jurusan “komunisme”, memang benar segala-galanya didasarkan kepada politik
Sovyet Russia. Bagi orang komunis, Sovyet Russia adalah “modal” untuk mencapai
cita-citanya, karena dengan Sovyet Russia bangun atau jatuh perjuangan
komunisme. Sovyet Russia adalah pelopor dalam menyelenggarakan idealnya, sebab
itu kepentingan Sovyet Russia dalam perjuangan politik internasional
diutamakannya.
Kalau perlu untuk memperkuat
kedudukan Sovyet Russia, segala kepentingan di luar Sovyet Russia dikorbankan,
terhitung juga kepentingan kemerdekaan Negara-negara jajahan, sebagaimana yang
terjadi pada tahun 1935 dan seterusnya. Sebab, menurut pendapat mereka, apabila
Sovyet Russia yang dibantu tadi sudah mencapai kemenangannya dalam pertempuran
dengan imperialisme, kemerdekaan itu akan datang dengan sendirinya.
Tidak demikian pendirian
seorang “nasionalis”, sekalipun pandangan kemasyarakatannya berdasarkan sosialisme.
Dari tujuan politik-nasional, kemerdekaan itulah yang terutama, sehingga segala
tujuan dibulatkan kepada perjuangan mencapai kemerdekaan itu. Perhitungan
terutama ialah, betapa aku akan mencapai kemerdekaan bangsaku dengan
selekas-lekasnya. Dan dengan sendiri perjuangannya itu mengambil dasar lain
daripada perjuangan yang dianjurkan oleh seorang komunis.
Oleh karena itu tidak dengan
sendirinya ia memilih antara dua aliran yang bertentangan. Betapa juga besar
simpatinya kepada aliran yang lebih dekat kepadanya, ia tetap memilih langkah
sendiri dalam menghadapi soal-soal kemerdekaan.
Betapa lemahnya kita sebagai
bangsa yang baru merdeka dibandingkan dua raksasa yang bertentangan, Amerika
Serikat dan Sovyet Russia, menurut anggapan pemerintah kita harus tetap
mendasar perjuangan kita atas adagium : percaya kepada diri sendiri dan
berjuang atas tenaga dan kesanggupan yang ada pada kita.
Politik Luar Negeri Menurut Moh.Hatta
Bung Hatta sebagai tokoh organisasi dan
partai politik
Bung Hatta adalah nama salah seorang dari
beribu pahlawan yang pernah memperjuangkan kemerdekaan dan kemajuan Indonesia.
Sosok Bung Hatta telah menjadi begitu dekat dengan hati rakyat Indonesia karena
perjuangan dan sifatnya yang begitu merakyat. Besarnya peran beliau dalam
perjuangan negeri ini sehingga ia disebut sebagai salah seorang bapak bangsa
Indonesia.
Berbagai tulisan dan kisah perjuangan
Muhammad Hatta telah ditulis dan dibukukan, mulai dari masa kecil, remaja,
dewasa dan perjuangan beliau untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Namun ada
hal yang rasanya perlu sedikit digali dan dipahami yaitu melihat Bung Hatta
sebagai tokoh organisasi dan partai politik, hal ini dikaitkan dengan usaha
melihat perkembangan kegiatan politik dan ketokohan politik di dunia politik
Indonesia sekarang maka pantas rasanya kita ikut melihat perjuangan dan
perjalanan kegiatan politik Bung Hatta.
Setelah perang dunia I berakhir generasi
muda Indonesia yang berprestasi makin banyak yang mendapat kesempatan mengenyam
pendidikan luar negeri seperti di Belanda, Kairo (Mesir). Hal ini diperkuat
dengan diberlakukannya politik balas budi oleh Belanda. Bung Hatta adalah salah
seorang pemuda yang beruntung, beliau mendapat kesempatan belajar di Belanda.
Kalau kita memperhatikan semangat berorganisasi Bung Hatta, sebenarnya telah
tumbuh sewaktu beliau berada di Indonesia. Beliau pernah menjadi ketua Jong
Sematera (1918-1921) dan semangat ini makin membara dengan asahan dari kultur
pendidikan Belanda/Eropa yang bernapas demokrasi dan keterbukaan.
Keinginan dan semangat berorganisasi Bung
Hatta makin terlihat sewaktu beliau mulai aktif di kelompok Indonesische
Vereeniging yang merupakan perkumpulan pemuda-pemuda Indonesia yang memikirkan
dan berusaha memajukan Indonesia, bahkan dalam organisasi ini dinyatakan bahwa
tujuan mereka adalah : “ kemerdekaan bagi Indonesia “. Dalam organisasi
yang keras dan anti penjajahan ini Bung Hatta makin “tahan banting” karena
banyaknya rintangan dan hambatan yang mereka hadapi.
Walau mendapat tekanan, organisasi
Indonesische Vereeniging tetap berkembang bahkan Januari 1925 organisasi ini
dinyatakan sebagai sebuah organisasi politik yang kemudian dinamai Perhimpunan
Indonesia (PI). Dan dalam organisasi ini Bung Hatta bertindak sebagai
Pemimpinnya.
Keterlibatan Bung Hatta dalam organisasi
dan partai poltik bukan hanya di luar negeri tapi sekembalinya dari Belanda
beliau juga aktif di PNI (Partai Nasional Indonesia) yang didirikan Soekarno
tahun 1927. Dalam organisasi PNI, Bung Hatta menitik beratkan kegiatannya
dibidang pendidikan. Beliau melihat bahwa melalui pendidikanlah rakyat akan
mampu mencapai kemerdekaan. Karena PNI dinilai sebagai partai yang radikal dan
membahayakan bagi kedudukan Belanda, maka banyak tekanan dan upaya untuk
mengurangi pengaruhnya pada rakyat. Hal ini dilihat dari propaganda dan
profokasi PNI tehadap penduduk untuk mengusakan kemerdekaan. Hingga akhirnya
Bunga Karno di tangkap dan demi keamanan organisasi ini membubarkan diri.
Tak lama setetah PNI (Partai Nasional
Indonesia) bubar, berdirilah organisasi pengganti yang dinamanakan Partindo
(Partai Indonesia). Mereka memiliki sifat organisasi yang radikal dan
nyata-nyata menentang Belanda. Hal ini tak di senangi oleh Bung Hatta. Karena
tak sependapat dengan Partindo beliau mendirikan PNI Pendidikan (Partai
Nasional Indonesia Pendidikan) atau disebut juga PNI Baru. Organisasi ini
didirikan di Yogyakarta bulan Agustus 1932, dan Bung Hatta diangkat sebagai
pemimpin. Organisasi ini memperhatikan “ kemajuan pendidikan bagi rakyat
Indonesia, menyiapkan dan menganjurkan rakyat dalam bidang kebatinan dan
mengorganisasikannya sehingga bisa dijadakan suatu aksi rakyat dengan landasan
demokrasi untuk kemerdekaan “.
Organisasi ini berkembang dengan pesat,
bayangkan pada kongres I di Bandung 1932 anggotanya baru 2000 orang dan setahun
kemudian telah memiliki 65 cabang di Indonesia. Organisasi ini mendapat
pengikut dari penduduk desa yang ingin mendapat dan mengenyam pendidikan. Di
PNI Pendidikan Bung Hatta bekerjasama dengan Syahrir yang merupakan teman
akrabnya sejak di Belanda. Hal ini makin memajukan organisasi ini di dunia
pendidikan Indonesia waktu itu. Kemajuan, kegiatan dan aksi dari PNI Pendidikan
dilihat Belanda sebagai ancaman baru tehadap kedudukan mereka sebagai penjajah
di Indonesia dan mereka pun mengeluarkan beberapa ketetapan ditahun 1933 di
antaranya:
§
Polisi diperintahkan bertindak keras
terhadap rapat-rapat PNI Pendidikan.
§
27 Juni 1933, pegawai negeri dilarang
menjadi anggota PNI Pendidikan.
§
1 Agustus 1933, diadakan pelarangan
rapat-rapat PNI Pendidikan di seluruh Indonesia.
Akhirnya ditahun 1934 Partai Nasional
Indonesia Pendidikan dinyatakan Pemerintahan Kolonial Belanda di bubarkan dan dilarang
keras bersama beberapa organisasi lain yang dianggap membahayakan
seperti : Partindo dan PSII. Ide-ide PNI Pendidikan yang dituangkan dalam
surat kabar ikut di hancurkan dan surat kabar yang menerbitkan ikut di bredel.
Namun secara keorganisasian, Hatta sebagai pemimpin tak mau menyatakan
organisasinya telah bubar. Ia tetap aktif dan berjuang untuk kemajuan
pendidikan Indonesia.
Soekarno yang aktif di Partindo dibuang ke
Flores diikuti dengan pengasingan Hatta dan Syahrir. Walau para pemimpin di asingkan
namun para pengikut mereka tetap konsisten melanjutkan perjuangan partai. PNI
Pendidikan tetap memberikan kursus-kursus, pelatihan-pelatuhan baik melalui
tulisan maupun dengan kunjungan kerumah-rumah penduduk.
Dalam sidang masalah PNI Pendidikan M.Hatta,
Syahrir, Maskun, Burhanuddin ,Bondan dan Murwoto dinyatakan bersalah dan
dibuang ke Boven Digul (Papua). Demi harapan terciptanya ketenangan di daerah
jajahan. Walau telah mendapat hambatan yang begitu besar namun perjuangan Hatta
tak hanya sampai disitu, beliau terus berjuang dan salah satu hasil perjuangan
Hatta dan para pahlawan lain tersebut adalah kemerdekaan yang telah kita raih
dan kita rasakan sekarang.
Sebagai tulisan singkat mengenai sejarah
ketokohan Muhammad Hatta di organisasi dan partai politik yang pernah beliau
geluti, kita haruslah dapat mengambil pelajaran dari hal ini. Karena sejarah
tak berarti apa-apa bila kita tak mampu mengambil manfaat dan nilai-nilai
positif didalamnya. Dari kehidupan Hatta di dunia politik kita bisa melihat bahwa :
Munculnya seorang tokoh penting dan memiliki jiwa patriot yang tangguh dan
memikirkan kehidupan orang banyak serta memajukan bangsa dan negara “bukan
hanya muncul dalam satu malam” atau bukanlah tokoh kambuhan yang muncul begitu
saja, dan bukanlah sosok yang mengambil kesempatan untuk tampil sebagai
pahlawan dan sosok pemerhati masyarakat. Tapi tokoh yang dapat kita jadikan
contoh dan panutan dalam organisasi, partai, dan kehidupan berbangsa dan
bernegara yang sesunguhnya adalah seorang sosok yang lahir dan tumbuh dalam
lingkungan masyarakat, ia terlatih untuk mampu memahami keinginan dan cita-cita
masyarakat, serta bertindak dengan menggunakan ilmu dan iman.
Seiring dengan meruaknya wacana demokrasi,
terutama di era reformasi kita bisa melihat bahwa di Indonesia berkembang
berbagai partai baru yang jumlahnya telah puluhan. Dalam kenyataanya
memunculkan nama-nama baru sebagai tokoh, elit partai, elit politik yang
berpengaruh di berbagai partai tersebut. Ada juga tokoh politik yang merupakan
wajah-wajah lama yang konsisten di partainya atau beralih membentuk partai
baru. Apakah mereka sudah pantas dikatakan sebagai tokoh, elite politik / elite
partai?. Sebagai salah satu sosok tokoh ideal, dengan mencontoh ketokohan Bung
Hatta kita harus mampu melihat berapa persen di antara tokoh-tokoh, orang-orang
penting, elite politik / elite partai di Indonesia sekarang yang telah
memperhatikan kehidupan masyarakat, berapa persen di antara mereka yang sudah
melakukan usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat Indonesia baik di bidang
ekonomi, pendidikan, politik dan lain-lain.
Politik Luar Negeri Menurut Kabinet Natsir
Kabinet Natsir memerintah antara tanggal 6 September 1950 – 20 Maret 1951. Setelah bentuk negara
RIS dibubarkan, kabinet pertama yang membentuk NKRI adalah kabinet Natsir yang
merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh Masyumi dan PNI sebagai partai kedua terbesar menjadi
oposisi. PNI menolak ikut serta dalam komite karena merasa tidak diberi
kedudukan yang tepat sesuai dengan kekuatannya. Tokoh-tokoh terkenal yang
mendukung kabinet ini adalah Sri Sultan HB IX, Mr. Asaat, Mr. Moh Roem, Ir Djuanda dan Dr. Sumitro Djojohadikusuma. Program pokoknya
adalah :
§
Menggiatkan usaha keamanan dan
ketenteraman
§
Konsolidasi dan menyempurnakan
pemerintahan
§
Menyempurnakan organisasi angkatan perang
§
Mengembangkan dan memperkuat ekonomi
kerakyatan
§
Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian
Barat
Pada masa kabinet ini, terjadi
pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, masalah dalam keamanan
negeri, seperti gerakan DI/TII, Gerakan Andi
Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS. Perundingan masalah Irian Barat juga mulai dirintis,
tetapi mengalami jalan buntu. Pada tanggal 22 Januari 1951, parlemen menyampaikan
mosi tidak percaya dan mendapat kemenangan sehingga pada tanggal 21
Maret 1951, Perdana Menteri Natsir mengembalikan
mandatnya kepada Presiden.
Kabinet Natsir
masa bakti : 6 September 1950-27 April 1951
No
|
Jabatan
|
Nama
Menteri
|
Partai
Politik
|
1
|
|||
Non partai
|
|||
2
|
Non partai
|
||
3
|
|||
4
|
Non partai
|
||
5
|
|||
6
|
Faksi Demokratik
|
||
7
|
|||
8
|
|||
9
|
|||
10
|
|||
11
|
|||
12
|
Non partai
|
||
13
|
|||
14
|
|||
15
|
|||
16
|
Non partai
|
||
17
|
Catatan:
1.
Pada tanggal 8 Desember 1950 Abdul Halim mundur karena alasan kesehatan,
perannya digantikan oleh Hamengku Buwono IX
2.
Pada tanggal 18 Desember 1950 mundur karena partainya (PSII) keluar dari kabinet
Politik
Luar Negeri Menurut Kabinet Sukiman
Setelah Kabinet Natsir
mengembalikan mandatnya pada presiden, presiden menunjuk Sartono (Ketua PNI)
menjadi formatur. Hampir satu bulan beliau berusaha membentuk kabinet koalisi
antara PNI dan Masyumi. Namun usahanya itu mengalami kegagalan, sehingga ia
mengembalikan mandatnya kepada presiden setelah bertugas selama 28 hari (28
Maret-18 April 1951).
Presiden Soekarno kemudian
menunjukan Sidik Djojosukatro ( PNI ) dan Soekiman Wijosandjojo ( Masyumi )
sebagai formatur dan berhasil membentuk kabinet koalisi dari Masyumi dan PNI.
Kabinet ini terkenal dengan nama Kabinet Soekiman ( Masyumi )- Soewirjo ( PNI )
yang dipimpin oleh Soekiman.
Program pokok dari Kabinet
Soekiman adalah:
1. Menjamin keamanan dan ketentraman
2. Mengusahakan kemakmuran rakyat dan
memperbaharui hukum agraria
agar sesuai dengan kepentingan petani.
3. Mempercepat persiapan pemilihan umum.
4. Menjalankan politik luar negeri secara bebas
aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
5. Di bidang hukum,
menyiapkan undang – undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja
sama,penetapan upah minimum,dan penyelesaian pertikaian buruh.
Hasil atau prestasi yang
berhasil dicapai oleh Kabinet Soekiman yaitu tidak terlalu berarti sebab
programnya melanjutkan program Natsir hanya saja terjadi perubahan skala
prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti awalnya program menggiatkan
usaha keamanan dan ketentraman selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin
keamanan dan ketentraman.
Kendala/ Masalah yang
dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut.
Adanya Pertukaran Nota
Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar
Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer
dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act
(MSA). Dimana dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI
karena RI diwajibkan memperhatiakan kepentingan Amerika. Tindakan Sukiman
tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas
aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan
Indonesia ke dalam blok barat.
Adanya krisis moral yang
ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan
dan kegemaran akan barang-barang mewah.
Masalah Irian barat belum
juga teratasi.
Hubungan Sukiman dengan
militer kurang baik tampak dengan kurang tegasnya tindakan pemerintah
menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan.
Berakhirnya kekuasaan
kabinet disebabkan oleh pertentangan dari Masyumi dan PNI atas tindakan Sukiman
sehingga mereka menarik dukungannya pada kabinet tersebut. DPR akhirnya
menggugat Sukiman dan terpaksa Sukiman harus mengembalikan mandatnya kepada
presiden.
Politik
Luar Negeri Menurut Kabinet Wilopo
Pada tanggal 1 Maret 1952,
Presiden Soekarno menunjukan Sidik Djojosukarto ( PNI ) dan Prawoto
Mangkusasmito ( M asyumi ) menjadi formatur, namun gagal. Kemudian menunjuk
Wilopo dari PNI sebagai formatur. Setelah bekerja selama dua minggu berhasil
dibentuk kabinet baru di bawah pimpinan Perdana Mentari Wilopo,sehingga bernama
kabinet Wilopo. Kabinet ini mendapat dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI.
Program pokok dari Kabinet
Wilopo adalah:
1. Program dalam negeri : Menyelenggarakan pemilihan umum
(konstituante, DPR, dan DPRD), meningkatkan kemakmuran rakyat, meningkatkan
pendidikan rakyat, dan pemulihan keamanan.
2. Program luar negeri : Penyelesaian
masalah hubungan Indonesia-Belanda, Pengembalian Irian Barat ke pangkuan
Indonesia, serta menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
Kabinet ini tidak mempunyai
prestasi yang bagus, justru sebaliknya banyak sekali kendala yang muncul antara
lain sebagai berikut.
Adanya kondisi krisis
ekonomi yang disebabkan karena jatuhnya harga barang-barang eksport Indonesia
sementara kebutuhan impor terus meningkat.
Terjadi defisit kas negara
karena penerimaan negara yang berkurang banyak terlebih setelah terjadi
penurunana hasil panen sehingga membutuhkan biaya besar untuk mengimport beras.
Munculnya gerakan sparatisme
dan sikap provinsialisme yang mengancam keutuhan bangsa. Semua itu disebabkan
karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi dana dari pusat ke daerah yang tidak
seimbang.
Terjadi peristiwa 17 Oktober
1952. Merupakan upaya pemerintah untuk menempatkan TNI sebagai alat sipil
sehingga muncul sikap tidak senang dikalangan partai politik sebab dipandang
akan membahayakan kedudukannya. Peristiwa ini diperkuat dengan munculnya
masalah intern dalam TNI sendiri yang berhubungan dengan kebijakan KSAD A.H
Nasution yang ditentang oleh Kolonel Bambang Supeno sehingga ia mengirim petisi
mengenai penggantian KSAD kepada menteri pertahanan yang dikirim ke seksi pertahanan
parlemen sehingga menimbulkan perdebatan dalam parlemen. Konflik semakin
diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto
dalam memulihkan keamanana di Sulawesi Selatan. Keadaan ini menyebabkan muncul
demonstrasi di berbagai daerah menuntut dibubarkannya parlemen. Sementara itu
TNI-AD yang dipimpin Nasution menghadap presiden dan menyarankan agar parlemen
dibubarkan. Tetapi saran tersebut ditolak. Muncullah mosi tidak percaya dan
menuntut diadakan reformasi dan reorganisasi angkatan perang dan mengecam
kebijakan KSAD. Inti peristiwa ini adalah gerakan sejumlah perwira angkatan
darat guna menekan Sukarno agar membubarkan kabinet.
Munculnya peristiwa Tanjung
Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Sesuai
dengan perjanjian KMB pemerintah mengizinkan pengusaha asing untuk kembali ke
Indonesia dan memiliki tanah-tanah perkebunan. Tanah perkebunan di Deli yang
telah ditinggalkan pemiliknya selama masa Jepang telah digarap oleh para petani
di Sumatera Utara dan dianggap miliknya. Sehingga pada tanggal 16 Maret 1953
muncullah aksi kekerasan untuk mengusir para petani liar Indonesia yang
dianggap telah mengerjakan tanah tanpa izin tersebut. Para petani tidak mau
pergi sebab telah dihasut oleh PKI. Akibatnya terjadi bentrokan senjata dan
beberapa petani terbunuh. Intinya peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa
bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar mengenai persoalan
tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli).
Akibat peristiwa Tanjung
Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap
kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden
pada tanggal 2 Juni 1953.
Mendayung
diantara Dua Karang
Pidato Bung Hatta sebagai
Perdana Menteri Republik Indonesia di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat (BP-KNIP) tanggal 2 September 1948.
… politik luar negeri
Republik Indonesia disebut politik bebas aktif. Bebas artinya menentukan jalan
sendiri, tidak terpengaruh oleh pihak manapun; aktif artinya menuju perdamaian
dunia dan bersahabat dengan segala bangsa … (Bung Hatta)
Berikut cuplikan pidatonya,
Saudara Ketua,…
Tindakan Belanda pada waktu
akhir ini menyatakan benar, bahwa Belanda dalam politiknya ingin kembali kepada
cita-cita “Rijksverband”-nya yang dahulu, yang sebenarnya tak pernah
dilepaskannya. Dan politiknya itu mau dipaksakannya kepada kita dengan
mengadakan satu “fait accompli”, yaitu dengan menyorongkan suatu pemerintahan
federal sementara yang dibentuknya secara unilateral kepada kita.
Dan mungkin pula
pemerintahan federal sementara itu diperalat lagi untuk menindas Republik
Indonesia. Saudara-saudara kita di daerah Malino dan daerah pendudukan hendak
diperkuda untuk memaksakan kemauan Belanda kepada Republik Indonesia. Belanda
menjalankan politik “devide et impera in optima forma”
Kita jangan bingung dan
jangan gelisah melihat tindakan Belanda yang semacam itu, karena segala
perbuatannya itu tidak menunjukkan suatu kedudukan yang kuat. Kita harus tenang
dan tetap memegang pendirian yang telah kita ambil. Janganlah kita dapat
diombang-ambingkan oleh “maneuver” Belanda itu
Tetapi kedudukan kita yang
kuat itu diperlemah oleh kekusutan di dalam, oleh pertentangan politik yang
semakin lama semakin hebat, seolah-olah kawan seperjuangan yang berlainan faham
dipandang musuh yang lebih besar daripada Belanda sendiri. Sentimen terlalu
diperhebat sehingga lupa pada kenyataannya, bahwa kemerdekaan kita hanya bisa
selamat apabila kita dapat menyiapkan suatu benteng persatuan yang kokoh.
Keadaan-keadaan yang akhir
ini menunjukkan bahwa kesulitan-kesulitan kita ke dalam sangat besar. Tambahan
lagi karena perputaran pendirian dalam kalangan FDR, dari pembela politik
Linggarjati dan Renville jadi penentangnya.
Dari kalangan FDR yang
selama ini mati-matian membela politik Renville terdengar suara yang
mengusulkan supaya Persetujuan Renville dibatalkan dan perundingan dengan
Belanda diputuskan. Kalangan ini menganjurkan supaya Republik Indonesia yang
perjuangannya adalah menentang imperialisme, terus terang memilih tempat pada
front anti imperialisme, terus terang memilih tempat pada front anti imperialis
yang dipimpin oleh Sovyet-Rusia untuk menentang imperialisme.
Jika ditinjau sepintas lalu
maka nampaklah suatu keganjilan politik. Golongan yang bertanggung jawab
tentang melahirkan Renville, sekarang membatalkannya. Dan golongan yang
semulanya menentang Renville sekarang berusaha menyelenggarakannya oleh karena
Renville itu telah diterima oleh Negara.
Situasi yang seperti ini
sudah tentu melemahkan pendirian kita dalam menghadapi perundingan dengan
Belanda. Situasi ini sebenarnya timbul sebagai akibat pergolakan politik
internasional yang dikuasai oleh pertentangan Amerika-Russia.
Tetapi mestikah kita bangsa
Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan Negara kita, hanya harus
memilih pro Russia atau pro Amerika ? Apakah tak ada pendirian yang lain harus
kita ambil dalam mengejar cita-cita kita ?
Pemerintah berpendapat bahwa
pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi obyek dalam
pertarungan politik internasional, melainkan kita harus menjadi subyek yang
berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita
sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya.
Perjuangan kita harus
diperjuangkan atas dasar semboyan kita yang lama : Percaya akan diri sendiri
dan berjuang atas kesanggupan kita sendiri. Ini tidak berarti bahwa kita tidak
akan mengambil keuntungan daripada pergolakan politik internasional. Memang
tiap-tiap politik untuk mencapai kedudukan Negara yang kuat ialah mempergunakan
pertentangan internasional yang ada itu untuk mencapai tujuan nasional sendiri.
Belanda berbuat begitu, ya segala bangsa sebenarnya berbuat semacam itu untuk
mencapai tujuan nasionalnya sendiri, apa sebab kita tidak melakukannya ?
Tiap-tiap orang diantara
kita tentu ada mempunyai simpati terhadap golongan ini atau golongan itu, akan
tetapi perjuangan bangsa tidak bisa dipecah dengan menuruti simpati saja,
tetapi hendaknya didasarkan kepada “realitiet”, kepada kepentingan Negara
setiap waktu. Sovyet Russia sendiri memberi contoh kepada kita, bahwa politik
internasional tidak bisa dihadapi dengan sentiment belaka, tetapi dengan
realitiet dan dengan logika yang rasional.
Dalam tahun 1935, tatkala
Sovyet Russia menghadapi arus fasis, ia merobah haluannya yang radikal (dalam)
menentang Negara-negara demokrasi Barat dan menganjurkan kepada kaum komunis di
luar Russia untuk memberhentikan serangannya kepada pemerintah-pemerintah
kapitalis dan beserta dengan mereka mengadakan suatu “Volksfront-politik” untuk
menentang fasis.
Malahan kepada bangsa-bangsa
yang terjajah di waktu itu dianjurkan supaya mengurangi perjuangannya “yang
tajam” menentang imperialisme colonial, melepas sementara waktu cita-cita
kemerdekaan dan membantu membuat “volksfront” yang dianjurkan tadi.
Dalam tahun 1939 Sovyet
Russia mengadakan perjanjian non-agresi dengan Nazi-Jerman, dan dengan
perjanjian itu Russia selama 18 bulan terpelihara dari serangan Hitler;
sementara itu ia dapat memperkuat alat pertahanannya. Timbangan yang rasionil
memaksa Sovyet Russia mengadakan perjanjian dengan musuhnya. Dan apabila
politik hanya didasarkan sentimen yang demikian itu tentu tidak mungkin
terjadi.
Tentang perjuangan
Indonesia, memang dapat dinyatakan “dua aliran politik” yang berlainan, yang
pada dasarnya sama kuatnya; jika dipandang dari pokok pahamnya masing-masing.
Jika perjuangan ditinjau
dari jurusan “komunisme”, memang benar segala-galanya didasarkan kepada politik
Sovyet Russia. Bagi orang komunis, Sovyet Russia adalah “modal” untuk mencapai
cita-citanya, karena dengan Sovyet Russia bangun atau jatuh perjuangan
komunisme. Sovyet Russia adalah pelopor dalam menyelenggarakan idealnya, sebab
itu kepentingan Sovyet Russia dalam perjuangan politik internasional
diutamakannya.
Kalau perlu untuk memperkuat
kedudukan Sovyet Russia, segala kepentingan di luar Sovyet Russia dikorbankan,
terhitung juga kepentingan kemerdekaan Negara-negara jajahan, sebagaimana yang
terjadi pada tahun 1935 dan seterusnya. Sebab, menurut pendapat mereka, apabila
Sovyet Russia yang dibantu tadi sudah mencapai kemenangannya dalam pertempuran
dengan imperialisme, kemerdekaan itu akan datang dengan sendirinya.
Tidak demikian pendirian
seorang “nasionalis”, sekalipun pandangan kemasyarakatannya berdasarkan sosialisme.
Dari tujuan politik-nasional, kemerdekaan itulah yang terutama, sehingga segala
tujuan dibulatkan kepada perjuangan mencapai kemerdekaan itu. Perhitungan
terutama ialah, betapa aku akan mencapai kemerdekaan bangsaku dengan
selekas-lekasnya. Dan dengan sendiri perjuangannya itu mengambil dasar lain
daripada perjuangan yang dianjurkan oleh seorang komunis.
Oleh karena itu tidak dengan
sendirinya ia memilih antara dua aliran yang bertentangan. Betapa juga besar
simpatinya kepada aliran yang lebih dekat kepadanya, ia tetap memilih langkah
sendiri dalam menghadapi soal-soal kemerdekaan.
Betapa lemahnya kita sebagai
bangsa yang baru merdeka dibandingkan dua raksasa yang bertentangan, Amerika
Serikat dan Sovyet Russia, menurut anggapan pemerintah kita harus tetap
mendasar perjuangan kita atas adagium : percaya kepada diri sendiri dan
berjuang atas tenaga dan kesanggupan yang ada pada kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar