Masih-kah Allah Menjadi Tempat Bergantung Kita ?
“Allahush
Shomad” Lafadh ini adalah bunyi dari QS. Al Ikhlas ayat 2, dimana bagi umat
Islam lafadh tersebut tidak asing lagi bahkan terlalu seringnya dibaca dan
didengar hingga hafal di luar kepala. Tapi tak sedikit yang tidak bisa memahami
makna dari lafadh tersebut. Arti secara bahasa dari lafadh tersebut adalah
Allah tempat bergantung. Selain itu dalam lafadh tersebut juga mengandung satu
nama Allah yang disebut Asmaul Husna yaitu Ash-Shomad.
Apa sebenarnya makna yang
terkandung dalam lafadh Allahush Shomad ? Secara umum ayat-ayat dalam QS. Al
Ikhlas mengandung pelajaran tentang inti ketauhidan. Mulai dari deklarasi
tentang Allah itu satu yang memiliki kekuasaan penuh tanpa ada tandingan. Allah
tidak memiliki keturunan dan tidak menurunkan keturunan hingga tempat
bergantungnya seluruh makhluk. Secara khusus Ash Shomad berarti Tempat bagi
makhluk untuk meminta, memohon, berharap, bercita-cita, tempat bersandar dan
memohon pertolongan serta petunjuk. Tempat untuk mencurahkan segala isi hati
dan persoalan hidup juga sebagai tempat untuk meminta solusi, jadi makna
Ash-Shomad ini sangat luas sesuai dengan sifat Allah yang tidak terbatas.
Bergantung kepada Allah berarti
menjadikan syariat yang telah diturunkan Allah sebagai cara dalam menyelesaikan
setiap masalah yang timbul dalam kehidupan. Syariat Allah berisi tentang
keimanan yang harus diyakini sepenuhnya dalam hati dan berisi syariat-syariat
yang memberi penyelesaian dalam seluruh masalah yang ada dalam kehidupan ini.
Jadi bergantung kepada Allah berarti meyakini sepenuhnya bahwa Syariat dalam
Al-Quran dan Sunnah adalah benar-benar perintah Allah lalu mengikuti apa yang
diperintah didalamnya dan meninggalkan larangan yang ada didalamnya .
Sering ditemui dalam kehidupan
sehari-hari, tempat bergantung manusia tidak hanya kepada Allah melainkan pada
yang lainnya. Dalam hati yakin bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam yang
memiliki kekuasaan tidak terbatas, sebaliknya perbuatannya sering tidak
mengikuti perintah Allah. Semisal datang ke dukun untuk tujuan tertentu, atau
ke tukang ramal, atau bahkan mempercayai ritual tertentu untuk membuang sial
atau membersihkan diri. Contoh lainnya di zaman modern ini orang menganggap
bahwa uang adalah segalanya dan semua persoalan akan selesai jika ada uang
sehingga menjadikan manusia sebagai hamba uang yang pada akhirnya melahirkan
cara pandang hidup Kapitalisme. Dimana faham ini juga disebut Ra’sun maaliyah
(Kepala berisi uang), yang pada akhirnya segala sesuatu dinilai dengan uang.
Akibatnya, makin langkahnya sikap saling tolong menolong, kebersamaan dan
saling percaya karena semua dipandang sebagai bisnis.
Terbuai
dengan Solusi sesaat
Sering kali manusia putus asa
dalam menghadapi persoalan hidup sehingga setiap kali ada masalah mengharapkan
adanya penyelesaian dengan cepat dan praktis. Dan seringkali pula akibatnya
adalah menghalalkan segala cara lalu mengabaikan aturan Allah yang mengatur
hidupnya sebagai orang yang beriman. Bahkan keimanan pun sering kali digadaikan
demi penyelesaian yang cepat dan praktis tersebut. Bulan Juli adalah
bulan-bulannya pendaftaran sekolah, hal ini berarti ada pengeluaran tambahan
bagi orang tua yang memiliki anak usia sekolah, baik yang baru masuk sekolah
atau kenaikan kelas. Fakta yang ada ditengah masyarakat adalah mayoritas
mencari penyelesaian dengan mendatangi Pegadaian, Bank atau Koperasi atau
lembaga/orang yang mau memberi pinjaman. Semua pemberi pinjaman tersebut pasti
akan meminta tambahan atas uang yang dipinjam. Dimana tambahan tersebut dalam
kamus modern saat ini disebut “Bunga”. Dan sebenarnya oleh Islam yang
syariatnya turun 14 Abad yang lalu menyebutkan “Bunga” dengan kata “Riba”.
Bukankah riba itu Haram ? Benar,
sesuai Firman Allah SWT dalam QS.Al Baqarah 275, “Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba...” Tapi kenapa manusia khususnya umat Islam yang
telah meyakini Al Quran sebagai Firman Allah tetap melakukan riba bahkan menjadikan
riba sebagai tempat bergantung ketika ada masalah. Persoalannya adalah karena
manusia Isti’jal (Buru-buru) dalam mencari solusi, Isti’jal terjadi karena
beberapa sebab, diantaranya : Pertama Lemahnya keimanan, manusia lupa bahwa
semua permasalahan hidup ini adalah bagian dari cobaan Allah dan dari setiap
permasalahan yang ada, pasti Allah telah memberikan solusinya. Keyakinan bahwa
apa yang dialami manusia pasti adalah yang terbaik baginya ini pun telah
luntur. Kedua Tidak sabar, sabar adalah pegangan yang paling kokoh dalam
menghadapi persoalan hidup. Bahkan Allah sering mensejajarkan sabar dengan
amalan shalat. Ketika datang masalah harusnya dicermati dulu lalu mencari
solusi yang dibenarkan oleh syariat. Seringkali orang mengatakan “Saya sudah sabar
tapi belum juga ada solusi”. Sabar haruslah diikuti dengan ilmu, dimana ilmu
itulah yang akan mengarahkan untuk memilih solusi apa yang dibenarkan syariat.
Jadi sabar adalah tetap
bersikukuh mengikuti aturan syariat dan meyakini itu sebagai solusi atas
persoalan yang dialami. Ketiga Gempuran keras dari pergaulan Kapitalis yang
telah mewabah, merebaknya lembaga pemberi pinjaman dengan Riba yang menawarkan segala
kemudahan pasti akan membuat siapa saja tergiur dan menjadikannya sebagai
tempat bergantung bahkan menjadi ketergantungan (Kalau gak utang rasanya gak
enak). Aturan yang dibuat pemerintah dengan memberi kemudahan untuk mendirikan
bank, Koperasi atau lembaga pemberi pinjaman turut berperan dalam mempengaruhi
keimanan umat untuk beralih dari bergantung pada Allah menjadi bergantung pada
Bank (Baca_riba), dari Allah As Shomad menjadi Bank Shomad.
Bergantung
penuh pada-Nya
Umat Islam harus segera sadar
untuk tidak mengikuti jejak penentang agama Allah, yaitu kaum Yahudi. Yang
memandang segala sesuatu sebagai peluang usaha, banyaknya orang yang
membutuhkan pinjaman peluang dan akhirnya mencari keuntungan dari meminjamkan
yaitu dengan mengembalikan disertai tambahan dengan berbagai alasan. Dewasa ini
banyak ditemukan aktifitas bekerja yang berasaskan riba, hal ini dapat
menjatuhkan hukum bekerja menjadi haram dari hukum awal bekerja adalah mubah
bagi wanita dan wajib bagi pria. Oleh karena itu umat Islam wajib memahami
seperti apa riba itu? Dan bagaimana bentuk-bentuk riba dalam kehidupan saat ini
?
Riba
artinya lebih atau bertambah yang maksudnya adalah akad/perjanjian yang terjadi
dengan penukaran yang ditentukan. Menurut para ulama fiqih, riba dibagi menjadi
4 macam, pertama Fadhl, tukar-menukar barang sejenis dengan timbangan yang
berbeda yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan. Kedua riba Qardh, yaitu
meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan bagi yang
meminjami. Riba inilah yang pada umumnya diterapkan oleh bank, koperasi atau
lembaga/orang yang meminjamkan uang. Ketiga riba yad, yaitu menjual satu barang
dengan 2 harga seperti harga dalam bentuk tunai berbeda dengan harga kredit. Keempat
riba Nasi’ah, yaitu pembayaran hutang yang disyaratkan mundur waktunya dengan
maksud agar nilai pembayaran bertambah.
Pengharaman Riba ini berdasarkan
nash dan nash tersebut tidak disertai dengan illat apapun. Sehingga keharaman
riba ini bersifat mutlak, tidak ada kondisi atau alasan apapun yang dapat
merubah status haramnya. Mencari-cari maslahat dari riba adalah bentuk
bersiasat pada sesuatu yang haram sehingga perilaku ini haram juga. Bahkan
Allah mensejajarkan dengan perilaku syirik seperti dalam HR.Ahmad :
“Sesungguhnya
Aku telah Menciptakan hamba-hamba Ku dengan agama yang lurus, namun kemudian
datanglah setan dan membelokkan agama mereka, dengan mengharamkan apa yang
telah Aku halalkan dan menyuruh mereka untuk mempersekutukan Aku dengan apa
yang Aku tidak memberikan kepadanya kekuasaan sedikitpun”
Larangan riba bisa dilihat dalam
QS. Al Baqarah 275-279, QS. Ali Imron 130, QS. An-Nisa 160-161 dan QS.Ar-Ruum
39. Juga dalam hadits” Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan
4 golongan masuk surga atau tidak mendapat petunjuk yaitu peminum arak, pemakan
riba, pemakan harta anak yatim dan mereka yang menelantarkan ibu/bapaknya”
(HR.Abu Hurairah).”Riba itu mempunyai 73 tingkatan, yang paling rendah
(dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya”(HR.Al Hakim)
Sikap bergantung seorang muslim
pada Allah harus dilakukan secara totalitas tanpa ada keraguan, meninggalkan
riba diikuti dengan keyakinan bahwa dibalik pengharaman ini pasti terkandung
maslahat yang besar. Allah mengajarkan pada seluruh hambanya untuk bersabar
dalam menghadapi semua cobaan dari Allah. Dalam melakukan perbuatan, kewajiban
seorang makhluk hanyalah melakukan usaha yang halal (Orientasi pada kualitas
amal) bukan memikirkan hasil yang didapatnya karena masalah hasil adalah urusan
rizki Allah yang merupakan hak mutlak sang kholik. Menjauhkan semua usaha dari
riba adalah bentuk memperbaiki kualitas amal. Jika dalam berbuat berorientasi
pada hasil maka yang nantinya muncul adalah putus asa, makanya sering ditemui
banyak orang sering protes pada Allah karena sudah berdoa, sholat dhuha, tahajud,
tapi Allah tidak kunjung memberi rizki sebagai solusi. Pernahkah difikirkan
juga apa makanan yang masuk dalam perut ini terjaga dari barang haram dan juga
barang yang diperoleh dengan cara yang haram.
Sabar juga berarti tidak
tergesa-gesa untuk mendapatkan apa yang selalu diinginkan, keinginan jika tidak
didasari keimanan yang benar hanyalah hawa nafsu belaka. Jika dikaitkan dengan
fakta bulan Juli sebagai bulan Pendaftaran Sekolah, maka orang tua patutnya
untuk tidak keburu terjebak dalam kubangan riba. Sebaiknya menyekolahkan anak
disesuaikan dengan kemampuan dan berusaha mencari jalan yang dibenarkan Allah.
Karena Allah akan memberikan kemudahan jalan bagi orang-orang yang
bersungguh-sungguh memegang teguh syariatnya (QS.Ath-Thalaq 2). Para orang tua
tidak sepenuhnya disalahkan, karena apa yang dilakukannya adalah akibat dari
mahalnya biaya pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan disebabkan salahnya aturan
yang diterapkan oleh pemerintah. Kesalahan pemerintah dalam memilih aturan
tidak hanya pada aturan pendidikannya tapi juga aturan ekonominya juga. Hal ini
ditandai dengan dipeliharanya sistem ribawi dalam pengaturan roda ekonomi,
bank-bank atau lembaga keuangan ribawi berkembang dengan subur dan cenderung
dipelihara. Semakin sulitnya kehidupan saat ini bisa berarti karena
dipeliharanya riba.”Jika riba dan zina muncul disuatu kaum, maka mereka telah
mengundang siksa Allah buat diri mereka sendiri”(HR.Hakim)
Allah mengajarkan agar setiap
muslim menciptakan interaksi yang didasari Ta’awun/Saling membantu, menegakkan
keadilan dan saling percaya. Jika ada kelebihan harta diperintahkan untuk
memberikan pinjaman pada saudaranya yang membutuhkan, bahkan pinjaman itu akan
dianggap sebagai shodaqoh. Ibnu Hibban meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud,
Rasulullah SAW bersabda :
“Tidak
seorang muslim pun yang meminjami muslim yang lain dengan suatu pinjaman
sebanyak dua kali, kecuali seperti shodaqoh sekali”
Masih-kah Allah Menjadi Tempat Bergantung Kita ?
“Allahush
Shomad” Lafadh ini adalah bunyi dari QS. Al Ikhlas ayat 2, dimana bagi umat
Islam lafadh tersebut tidak asing lagi bahkan terlalu seringnya dibaca dan
didengar hingga hafal di luar kepala. Tapi tak sedikit yang tidak bisa memahami
makna dari lafadh tersebut. Arti secara bahasa dari lafadh tersebut adalah
Allah tempat bergantung. Selain itu dalam lafadh tersebut juga mengandung satu
nama Allah yang disebut Asmaul Husna yaitu Ash-Shomad.
Apa sebenarnya makna yang
terkandung dalam lafadh Allahush Shomad ? Secara umum ayat-ayat dalam QS. Al
Ikhlas mengandung pelajaran tentang inti ketauhidan. Mulai dari deklarasi
tentang Allah itu satu yang memiliki kekuasaan penuh tanpa ada tandingan. Allah
tidak memiliki keturunan dan tidak menurunkan keturunan hingga tempat
bergantungnya seluruh makhluk. Secara khusus Ash Shomad berarti Tempat bagi
makhluk untuk meminta, memohon, berharap, bercita-cita, tempat bersandar dan
memohon pertolongan serta petunjuk. Tempat untuk mencurahkan segala isi hati
dan persoalan hidup juga sebagai tempat untuk meminta solusi, jadi makna
Ash-Shomad ini sangat luas sesuai dengan sifat Allah yang tidak terbatas.
Bergantung kepada Allah berarti
menjadikan syariat yang telah diturunkan Allah sebagai cara dalam menyelesaikan
setiap masalah yang timbul dalam kehidupan. Syariat Allah berisi tentang
keimanan yang harus diyakini sepenuhnya dalam hati dan berisi syariat-syariat
yang memberi penyelesaian dalam seluruh masalah yang ada dalam kehidupan ini.
Jadi bergantung kepada Allah berarti meyakini sepenuhnya bahwa Syariat dalam
Al-Quran dan Sunnah adalah benar-benar perintah Allah lalu mengikuti apa yang
diperintah didalamnya dan meninggalkan larangan yang ada didalamnya .
Sering ditemui dalam kehidupan
sehari-hari, tempat bergantung manusia tidak hanya kepada Allah melainkan pada
yang lainnya. Dalam hati yakin bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam yang
memiliki kekuasaan tidak terbatas, sebaliknya perbuatannya sering tidak
mengikuti perintah Allah. Semisal datang ke dukun untuk tujuan tertentu, atau
ke tukang ramal, atau bahkan mempercayai ritual tertentu untuk membuang sial
atau membersihkan diri. Contoh lainnya di zaman modern ini orang menganggap
bahwa uang adalah segalanya dan semua persoalan akan selesai jika ada uang
sehingga menjadikan manusia sebagai hamba uang yang pada akhirnya melahirkan
cara pandang hidup Kapitalisme. Dimana faham ini juga disebut Ra’sun maaliyah
(Kepala berisi uang), yang pada akhirnya segala sesuatu dinilai dengan uang.
Akibatnya, makin langkahnya sikap saling tolong menolong, kebersamaan dan
saling percaya karena semua dipandang sebagai bisnis.
Terbuai
dengan Solusi sesaat
Sering kali manusia putus asa
dalam menghadapi persoalan hidup sehingga setiap kali ada masalah mengharapkan
adanya penyelesaian dengan cepat dan praktis. Dan seringkali pula akibatnya
adalah menghalalkan segala cara lalu mengabaikan aturan Allah yang mengatur
hidupnya sebagai orang yang beriman. Bahkan keimanan pun sering kali digadaikan
demi penyelesaian yang cepat dan praktis tersebut. Bulan Juli adalah
bulan-bulannya pendaftaran sekolah, hal ini berarti ada pengeluaran tambahan
bagi orang tua yang memiliki anak usia sekolah, baik yang baru masuk sekolah
atau kenaikan kelas. Fakta yang ada ditengah masyarakat adalah mayoritas
mencari penyelesaian dengan mendatangi Pegadaian, Bank atau Koperasi atau
lembaga/orang yang mau memberi pinjaman. Semua pemberi pinjaman tersebut pasti
akan meminta tambahan atas uang yang dipinjam. Dimana tambahan tersebut dalam
kamus modern saat ini disebut “Bunga”. Dan sebenarnya oleh Islam yang
syariatnya turun 14 Abad yang lalu menyebutkan “Bunga” dengan kata “Riba”.
Bukankah riba itu Haram ? Benar,
sesuai Firman Allah SWT dalam QS.Al Baqarah 275, “Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba...” Tapi kenapa manusia khususnya umat Islam yang
telah meyakini Al Quran sebagai Firman Allah tetap melakukan riba bahkan menjadikan
riba sebagai tempat bergantung ketika ada masalah. Persoalannya adalah karena
manusia Isti’jal (Buru-buru) dalam mencari solusi, Isti’jal terjadi karena
beberapa sebab, diantaranya : Pertama Lemahnya keimanan, manusia lupa bahwa
semua permasalahan hidup ini adalah bagian dari cobaan Allah dan dari setiap
permasalahan yang ada, pasti Allah telah memberikan solusinya. Keyakinan bahwa
apa yang dialami manusia pasti adalah yang terbaik baginya ini pun telah
luntur. Kedua Tidak sabar, sabar adalah pegangan yang paling kokoh dalam
menghadapi persoalan hidup. Bahkan Allah sering mensejajarkan sabar dengan
amalan shalat. Ketika datang masalah harusnya dicermati dulu lalu mencari
solusi yang dibenarkan oleh syariat. Seringkali orang mengatakan “Saya sudah sabar
tapi belum juga ada solusi”. Sabar haruslah diikuti dengan ilmu, dimana ilmu
itulah yang akan mengarahkan untuk memilih solusi apa yang dibenarkan syariat.
Jadi sabar adalah tetap
bersikukuh mengikuti aturan syariat dan meyakini itu sebagai solusi atas
persoalan yang dialami. Ketiga Gempuran keras dari pergaulan Kapitalis yang
telah mewabah, merebaknya lembaga pemberi pinjaman dengan Riba yang menawarkan segala
kemudahan pasti akan membuat siapa saja tergiur dan menjadikannya sebagai
tempat bergantung bahkan menjadi ketergantungan (Kalau gak utang rasanya gak
enak). Aturan yang dibuat pemerintah dengan memberi kemudahan untuk mendirikan
bank, Koperasi atau lembaga pemberi pinjaman turut berperan dalam mempengaruhi
keimanan umat untuk beralih dari bergantung pada Allah menjadi bergantung pada
Bank (Baca_riba), dari Allah As Shomad menjadi Bank Shomad.
Bergantung
penuh pada-Nya
Umat Islam harus segera sadar
untuk tidak mengikuti jejak penentang agama Allah, yaitu kaum Yahudi. Yang
memandang segala sesuatu sebagai peluang usaha, banyaknya orang yang
membutuhkan pinjaman peluang dan akhirnya mencari keuntungan dari meminjamkan
yaitu dengan mengembalikan disertai tambahan dengan berbagai alasan. Dewasa ini
banyak ditemukan aktifitas bekerja yang berasaskan riba, hal ini dapat
menjatuhkan hukum bekerja menjadi haram dari hukum awal bekerja adalah mubah
bagi wanita dan wajib bagi pria. Oleh karena itu umat Islam wajib memahami
seperti apa riba itu? Dan bagaimana bentuk-bentuk riba dalam kehidupan saat ini
?
Riba
artinya lebih atau bertambah yang maksudnya adalah akad/perjanjian yang terjadi
dengan penukaran yang ditentukan. Menurut para ulama fiqih, riba dibagi menjadi
4 macam, pertama Fadhl, tukar-menukar barang sejenis dengan timbangan yang
berbeda yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan. Kedua riba Qardh, yaitu
meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan bagi yang
meminjami. Riba inilah yang pada umumnya diterapkan oleh bank, koperasi atau
lembaga/orang yang meminjamkan uang. Ketiga riba yad, yaitu menjual satu barang
dengan 2 harga seperti harga dalam bentuk tunai berbeda dengan harga kredit. Keempat
riba Nasi’ah, yaitu pembayaran hutang yang disyaratkan mundur waktunya dengan
maksud agar nilai pembayaran bertambah.
Pengharaman Riba ini berdasarkan
nash dan nash tersebut tidak disertai dengan illat apapun. Sehingga keharaman
riba ini bersifat mutlak, tidak ada kondisi atau alasan apapun yang dapat
merubah status haramnya. Mencari-cari maslahat dari riba adalah bentuk
bersiasat pada sesuatu yang haram sehingga perilaku ini haram juga. Bahkan
Allah mensejajarkan dengan perilaku syirik seperti dalam HR.Ahmad :
“Sesungguhnya
Aku telah Menciptakan hamba-hamba Ku dengan agama yang lurus, namun kemudian
datanglah setan dan membelokkan agama mereka, dengan mengharamkan apa yang
telah Aku halalkan dan menyuruh mereka untuk mempersekutukan Aku dengan apa
yang Aku tidak memberikan kepadanya kekuasaan sedikitpun”
Larangan riba bisa dilihat dalam
QS. Al Baqarah 275-279, QS. Ali Imron 130, QS. An-Nisa 160-161 dan QS.Ar-Ruum
39. Juga dalam hadits” Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan
4 golongan masuk surga atau tidak mendapat petunjuk yaitu peminum arak, pemakan
riba, pemakan harta anak yatim dan mereka yang menelantarkan ibu/bapaknya”
(HR.Abu Hurairah).”Riba itu mempunyai 73 tingkatan, yang paling rendah
(dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya”(HR.Al Hakim)
Sikap bergantung seorang muslim
pada Allah harus dilakukan secara totalitas tanpa ada keraguan, meninggalkan
riba diikuti dengan keyakinan bahwa dibalik pengharaman ini pasti terkandung
maslahat yang besar. Allah mengajarkan pada seluruh hambanya untuk bersabar
dalam menghadapi semua cobaan dari Allah. Dalam melakukan perbuatan, kewajiban
seorang makhluk hanyalah melakukan usaha yang halal (Orientasi pada kualitas
amal) bukan memikirkan hasil yang didapatnya karena masalah hasil adalah urusan
rizki Allah yang merupakan hak mutlak sang kholik. Menjauhkan semua usaha dari
riba adalah bentuk memperbaiki kualitas amal. Jika dalam berbuat berorientasi
pada hasil maka yang nantinya muncul adalah putus asa, makanya sering ditemui
banyak orang sering protes pada Allah karena sudah berdoa, sholat dhuha, tahajud,
tapi Allah tidak kunjung memberi rizki sebagai solusi. Pernahkah difikirkan
juga apa makanan yang masuk dalam perut ini terjaga dari barang haram dan juga
barang yang diperoleh dengan cara yang haram.
Sabar juga berarti tidak
tergesa-gesa untuk mendapatkan apa yang selalu diinginkan, keinginan jika tidak
didasari keimanan yang benar hanyalah hawa nafsu belaka. Jika dikaitkan dengan
fakta bulan Juli sebagai bulan Pendaftaran Sekolah, maka orang tua patutnya
untuk tidak keburu terjebak dalam kubangan riba. Sebaiknya menyekolahkan anak
disesuaikan dengan kemampuan dan berusaha mencari jalan yang dibenarkan Allah.
Karena Allah akan memberikan kemudahan jalan bagi orang-orang yang
bersungguh-sungguh memegang teguh syariatnya (QS.Ath-Thalaq 2). Para orang tua
tidak sepenuhnya disalahkan, karena apa yang dilakukannya adalah akibat dari
mahalnya biaya pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan disebabkan salahnya aturan
yang diterapkan oleh pemerintah. Kesalahan pemerintah dalam memilih aturan
tidak hanya pada aturan pendidikannya tapi juga aturan ekonominya juga. Hal ini
ditandai dengan dipeliharanya sistem ribawi dalam pengaturan roda ekonomi,
bank-bank atau lembaga keuangan ribawi berkembang dengan subur dan cenderung
dipelihara. Semakin sulitnya kehidupan saat ini bisa berarti karena
dipeliharanya riba.”Jika riba dan zina muncul disuatu kaum, maka mereka telah
mengundang siksa Allah buat diri mereka sendiri”(HR.Hakim)
Allah mengajarkan agar setiap
muslim menciptakan interaksi yang didasari Ta’awun/Saling membantu, menegakkan
keadilan dan saling percaya. Jika ada kelebihan harta diperintahkan untuk
memberikan pinjaman pada saudaranya yang membutuhkan, bahkan pinjaman itu akan
dianggap sebagai shodaqoh. Ibnu Hibban meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud,
Rasulullah SAW bersabda :
“Tidak
seorang muslim pun yang meminjami muslim yang lain dengan suatu pinjaman
sebanyak dua kali, kecuali seperti shodaqoh sekali”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar