Sabtu, 21 Juli 2012

Masih-kah Allah Menjadi Tempat Bergantung Kita?


Masih-kah Allah Menjadi Tempat Bergantung Kita ?

“Allahush Shomad” Lafadh ini adalah bunyi dari QS. Al Ikhlas ayat 2, dimana bagi umat Islam lafadh tersebut tidak asing lagi bahkan terlalu seringnya dibaca dan didengar hingga hafal di luar kepala. Tapi tak sedikit yang tidak bisa memahami makna dari lafadh tersebut. Arti secara bahasa dari lafadh tersebut adalah Allah tempat bergantung. Selain itu dalam lafadh tersebut juga mengandung satu nama Allah yang disebut Asmaul Husna yaitu Ash-Shomad.
               Apa sebenarnya makna yang terkandung dalam lafadh Allahush Shomad ? Secara umum ayat-ayat dalam QS. Al Ikhlas mengandung pelajaran tentang inti ketauhidan. Mulai dari deklarasi tentang Allah itu satu yang memiliki kekuasaan penuh tanpa ada tandingan. Allah tidak memiliki keturunan dan tidak menurunkan keturunan hingga tempat bergantungnya seluruh makhluk. Secara khusus Ash Shomad berarti Tempat bagi makhluk untuk meminta, memohon, berharap, bercita-cita, tempat bersandar dan memohon pertolongan serta petunjuk. Tempat untuk mencurahkan segala isi hati dan persoalan hidup juga sebagai tempat untuk meminta solusi, jadi makna Ash-Shomad ini sangat luas sesuai dengan sifat Allah yang tidak terbatas.
               Bergantung kepada Allah berarti menjadikan syariat yang telah diturunkan Allah sebagai cara dalam menyelesaikan setiap masalah yang timbul dalam kehidupan. Syariat Allah berisi tentang keimanan yang harus diyakini sepenuhnya dalam hati dan berisi syariat-syariat yang memberi penyelesaian dalam seluruh masalah yang ada dalam kehidupan ini. Jadi bergantung kepada Allah berarti meyakini sepenuhnya bahwa Syariat dalam Al-Quran dan Sunnah adalah benar-benar perintah Allah lalu mengikuti apa yang diperintah didalamnya dan meninggalkan larangan yang ada didalamnya .
               Sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari, tempat bergantung manusia tidak hanya kepada Allah melainkan pada yang lainnya. Dalam hati yakin bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam yang memiliki kekuasaan tidak terbatas, sebaliknya perbuatannya sering tidak mengikuti perintah Allah. Semisal datang ke dukun untuk tujuan tertentu, atau ke tukang ramal, atau bahkan mempercayai ritual tertentu untuk membuang sial atau membersihkan diri. Contoh lainnya di zaman modern ini orang menganggap bahwa uang adalah segalanya dan semua persoalan akan selesai jika ada uang sehingga menjadikan manusia sebagai hamba uang yang pada akhirnya melahirkan cara pandang hidup Kapitalisme. Dimana faham ini juga disebut Ra’sun maaliyah (Kepala berisi uang), yang pada akhirnya segala sesuatu dinilai dengan uang. Akibatnya, makin langkahnya sikap saling tolong menolong, kebersamaan dan saling percaya karena semua dipandang sebagai bisnis.

Terbuai dengan Solusi sesaat
               Sering kali manusia putus asa dalam menghadapi persoalan hidup sehingga setiap kali ada masalah mengharapkan adanya penyelesaian dengan cepat dan praktis. Dan seringkali pula akibatnya adalah menghalalkan segala cara lalu mengabaikan aturan Allah yang mengatur hidupnya sebagai orang yang beriman. Bahkan keimanan pun sering kali digadaikan demi penyelesaian yang cepat dan praktis tersebut. Bulan Juli adalah bulan-bulannya pendaftaran sekolah, hal ini berarti ada pengeluaran tambahan bagi orang tua yang memiliki anak usia sekolah, baik yang baru masuk sekolah atau kenaikan kelas. Fakta yang ada ditengah masyarakat adalah mayoritas mencari penyelesaian dengan mendatangi Pegadaian, Bank atau Koperasi atau lembaga/orang yang mau memberi pinjaman. Semua pemberi pinjaman tersebut pasti akan meminta tambahan atas uang yang dipinjam. Dimana tambahan tersebut dalam kamus modern saat ini disebut “Bunga”. Dan sebenarnya oleh Islam yang syariatnya turun 14 Abad yang lalu menyebutkan “Bunga” dengan kata “Riba”.
               Bukankah riba itu Haram ? Benar, sesuai Firman Allah SWT dalam QS.Al Baqarah 275, “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” Tapi kenapa manusia khususnya umat Islam yang telah meyakini Al Quran sebagai Firman Allah tetap melakukan riba bahkan menjadikan riba sebagai tempat bergantung ketika ada masalah. Persoalannya adalah karena manusia Isti’jal (Buru-buru) dalam mencari solusi, Isti’jal terjadi karena beberapa sebab, diantaranya : Pertama Lemahnya keimanan, manusia lupa bahwa semua permasalahan hidup ini adalah bagian dari cobaan Allah dan dari setiap permasalahan yang ada, pasti Allah telah memberikan solusinya. Keyakinan bahwa apa yang dialami manusia pasti adalah yang terbaik baginya ini pun telah luntur. Kedua Tidak sabar, sabar adalah pegangan yang paling kokoh dalam menghadapi persoalan hidup. Bahkan Allah sering mensejajarkan sabar dengan amalan shalat. Ketika datang masalah harusnya dicermati dulu lalu mencari solusi yang dibenarkan oleh syariat. Seringkali orang mengatakan “Saya sudah sabar tapi belum juga ada solusi”. Sabar haruslah diikuti dengan ilmu, dimana ilmu itulah yang akan mengarahkan untuk memilih solusi apa yang dibenarkan syariat.
               Jadi sabar adalah tetap bersikukuh mengikuti aturan syariat dan meyakini itu sebagai solusi atas persoalan yang dialami. Ketiga Gempuran keras dari pergaulan Kapitalis yang telah mewabah, merebaknya lembaga pemberi pinjaman dengan Riba yang menawarkan segala kemudahan pasti akan membuat siapa saja tergiur dan menjadikannya sebagai tempat bergantung bahkan menjadi ketergantungan (Kalau gak utang rasanya gak enak). Aturan yang dibuat pemerintah dengan memberi kemudahan untuk mendirikan bank, Koperasi atau lembaga pemberi pinjaman turut berperan dalam mempengaruhi keimanan umat untuk beralih dari bergantung pada Allah menjadi bergantung pada Bank (Baca_riba), dari Allah As Shomad menjadi Bank Shomad.

Bergantung penuh pada-Nya
               Umat Islam harus segera sadar untuk tidak mengikuti jejak penentang agama Allah, yaitu kaum Yahudi. Yang memandang segala sesuatu sebagai peluang usaha, banyaknya orang yang membutuhkan pinjaman peluang dan akhirnya mencari keuntungan dari meminjamkan yaitu dengan mengembalikan disertai tambahan dengan berbagai alasan. Dewasa ini banyak ditemukan aktifitas bekerja yang berasaskan riba, hal ini dapat menjatuhkan hukum bekerja menjadi haram dari hukum awal bekerja adalah mubah bagi wanita dan wajib bagi pria. Oleh karena itu umat Islam wajib memahami seperti apa riba itu? Dan bagaimana bentuk-bentuk riba dalam kehidupan saat ini ?
                Riba artinya lebih atau bertambah yang maksudnya adalah akad/perjanjian yang terjadi dengan penukaran yang ditentukan. Menurut para ulama fiqih, riba dibagi menjadi 4 macam, pertama Fadhl, tukar-menukar barang sejenis dengan timbangan yang berbeda yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan. Kedua riba Qardh, yaitu meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan bagi yang meminjami. Riba inilah yang pada umumnya diterapkan oleh bank, koperasi atau lembaga/orang yang meminjamkan uang. Ketiga riba yad, yaitu menjual satu barang dengan 2 harga seperti harga dalam bentuk tunai berbeda dengan harga kredit. Keempat riba Nasi’ah, yaitu pembayaran hutang yang disyaratkan mundur waktunya dengan maksud agar nilai pembayaran bertambah.
               Pengharaman Riba ini berdasarkan nash dan nash tersebut tidak disertai dengan illat apapun. Sehingga keharaman riba ini bersifat mutlak, tidak ada kondisi atau alasan apapun yang dapat merubah status haramnya. Mencari-cari maslahat dari riba adalah bentuk bersiasat pada sesuatu yang haram sehingga perilaku ini haram juga. Bahkan Allah mensejajarkan dengan perilaku syirik seperti dalam HR.Ahmad :
“Sesungguhnya Aku telah Menciptakan hamba-hamba Ku dengan agama yang lurus, namun kemudian datanglah setan dan membelokkan agama mereka, dengan mengharamkan apa yang telah Aku halalkan dan menyuruh mereka untuk mempersekutukan Aku dengan apa yang Aku tidak memberikan kepadanya kekuasaan sedikitpun”
               Larangan riba bisa dilihat dalam QS. Al Baqarah 275-279, QS. Ali Imron 130, QS. An-Nisa 160-161 dan QS.Ar-Ruum 39. Juga dalam hadits” Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan 4 golongan masuk surga atau tidak mendapat petunjuk yaitu peminum arak, pemakan riba, pemakan harta anak yatim dan mereka yang menelantarkan ibu/bapaknya” (HR.Abu Hurairah).”Riba itu mempunyai 73 tingkatan, yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya”(HR.Al Hakim)
               Sikap bergantung seorang muslim pada Allah harus dilakukan secara totalitas tanpa ada keraguan, meninggalkan riba diikuti dengan keyakinan bahwa dibalik pengharaman ini pasti terkandung maslahat yang besar. Allah mengajarkan pada seluruh hambanya untuk bersabar dalam menghadapi semua cobaan dari Allah. Dalam melakukan perbuatan, kewajiban seorang makhluk hanyalah melakukan usaha yang halal (Orientasi pada kualitas amal) bukan memikirkan hasil yang didapatnya karena masalah hasil adalah urusan rizki Allah yang merupakan hak mutlak sang kholik. Menjauhkan semua usaha dari riba adalah bentuk memperbaiki kualitas amal. Jika dalam berbuat berorientasi pada hasil maka yang nantinya muncul adalah putus asa, makanya sering ditemui banyak orang sering protes pada Allah karena sudah berdoa, sholat dhuha, tahajud, tapi Allah tidak kunjung memberi rizki sebagai solusi. Pernahkah difikirkan juga apa makanan yang masuk dalam perut ini terjaga dari barang haram dan juga barang yang diperoleh dengan cara yang haram.
               Sabar juga berarti tidak tergesa-gesa untuk mendapatkan apa yang selalu diinginkan, keinginan jika tidak didasari keimanan yang benar hanyalah hawa nafsu belaka. Jika dikaitkan dengan fakta bulan Juli sebagai bulan Pendaftaran Sekolah, maka orang tua patutnya untuk tidak keburu terjebak dalam kubangan riba. Sebaiknya menyekolahkan anak disesuaikan dengan kemampuan dan berusaha mencari jalan yang dibenarkan Allah. Karena Allah akan memberikan kemudahan jalan bagi orang-orang yang bersungguh-sungguh memegang teguh syariatnya (QS.Ath-Thalaq 2). Para orang tua tidak sepenuhnya disalahkan, karena apa yang dilakukannya adalah akibat dari mahalnya biaya pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan disebabkan salahnya aturan yang diterapkan oleh pemerintah. Kesalahan pemerintah dalam memilih aturan tidak hanya pada aturan pendidikannya tapi juga aturan ekonominya juga. Hal ini ditandai dengan dipeliharanya sistem ribawi dalam pengaturan roda ekonomi, bank-bank atau lembaga keuangan ribawi berkembang dengan subur dan cenderung dipelihara. Semakin sulitnya kehidupan saat ini bisa berarti karena dipeliharanya riba.”Jika riba dan zina muncul disuatu kaum, maka mereka telah mengundang siksa Allah buat diri mereka sendiri”(HR.Hakim)
               Allah mengajarkan agar setiap muslim menciptakan interaksi yang didasari Ta’awun/Saling membantu, menegakkan keadilan dan saling percaya. Jika ada kelebihan harta diperintahkan untuk memberikan pinjaman pada saudaranya yang membutuhkan, bahkan pinjaman itu akan dianggap sebagai shodaqoh. Ibnu Hibban meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda :
“Tidak seorang muslim pun yang meminjami muslim yang lain dengan suatu pinjaman sebanyak dua kali, kecuali seperti shodaqoh sekali”

Masih-kah Allah Menjadi Tempat Bergantung Kita ?

“Allahush Shomad” Lafadh ini adalah bunyi dari QS. Al Ikhlas ayat 2, dimana bagi umat Islam lafadh tersebut tidak asing lagi bahkan terlalu seringnya dibaca dan didengar hingga hafal di luar kepala. Tapi tak sedikit yang tidak bisa memahami makna dari lafadh tersebut. Arti secara bahasa dari lafadh tersebut adalah Allah tempat bergantung. Selain itu dalam lafadh tersebut juga mengandung satu nama Allah yang disebut Asmaul Husna yaitu Ash-Shomad.
               Apa sebenarnya makna yang terkandung dalam lafadh Allahush Shomad ? Secara umum ayat-ayat dalam QS. Al Ikhlas mengandung pelajaran tentang inti ketauhidan. Mulai dari deklarasi tentang Allah itu satu yang memiliki kekuasaan penuh tanpa ada tandingan. Allah tidak memiliki keturunan dan tidak menurunkan keturunan hingga tempat bergantungnya seluruh makhluk. Secara khusus Ash Shomad berarti Tempat bagi makhluk untuk meminta, memohon, berharap, bercita-cita, tempat bersandar dan memohon pertolongan serta petunjuk. Tempat untuk mencurahkan segala isi hati dan persoalan hidup juga sebagai tempat untuk meminta solusi, jadi makna Ash-Shomad ini sangat luas sesuai dengan sifat Allah yang tidak terbatas.
               Bergantung kepada Allah berarti menjadikan syariat yang telah diturunkan Allah sebagai cara dalam menyelesaikan setiap masalah yang timbul dalam kehidupan. Syariat Allah berisi tentang keimanan yang harus diyakini sepenuhnya dalam hati dan berisi syariat-syariat yang memberi penyelesaian dalam seluruh masalah yang ada dalam kehidupan ini. Jadi bergantung kepada Allah berarti meyakini sepenuhnya bahwa Syariat dalam Al-Quran dan Sunnah adalah benar-benar perintah Allah lalu mengikuti apa yang diperintah didalamnya dan meninggalkan larangan yang ada didalamnya .
               Sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari, tempat bergantung manusia tidak hanya kepada Allah melainkan pada yang lainnya. Dalam hati yakin bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam yang memiliki kekuasaan tidak terbatas, sebaliknya perbuatannya sering tidak mengikuti perintah Allah. Semisal datang ke dukun untuk tujuan tertentu, atau ke tukang ramal, atau bahkan mempercayai ritual tertentu untuk membuang sial atau membersihkan diri. Contoh lainnya di zaman modern ini orang menganggap bahwa uang adalah segalanya dan semua persoalan akan selesai jika ada uang sehingga menjadikan manusia sebagai hamba uang yang pada akhirnya melahirkan cara pandang hidup Kapitalisme. Dimana faham ini juga disebut Ra’sun maaliyah (Kepala berisi uang), yang pada akhirnya segala sesuatu dinilai dengan uang. Akibatnya, makin langkahnya sikap saling tolong menolong, kebersamaan dan saling percaya karena semua dipandang sebagai bisnis.

Terbuai dengan Solusi sesaat
               Sering kali manusia putus asa dalam menghadapi persoalan hidup sehingga setiap kali ada masalah mengharapkan adanya penyelesaian dengan cepat dan praktis. Dan seringkali pula akibatnya adalah menghalalkan segala cara lalu mengabaikan aturan Allah yang mengatur hidupnya sebagai orang yang beriman. Bahkan keimanan pun sering kali digadaikan demi penyelesaian yang cepat dan praktis tersebut. Bulan Juli adalah bulan-bulannya pendaftaran sekolah, hal ini berarti ada pengeluaran tambahan bagi orang tua yang memiliki anak usia sekolah, baik yang baru masuk sekolah atau kenaikan kelas. Fakta yang ada ditengah masyarakat adalah mayoritas mencari penyelesaian dengan mendatangi Pegadaian, Bank atau Koperasi atau lembaga/orang yang mau memberi pinjaman. Semua pemberi pinjaman tersebut pasti akan meminta tambahan atas uang yang dipinjam. Dimana tambahan tersebut dalam kamus modern saat ini disebut “Bunga”. Dan sebenarnya oleh Islam yang syariatnya turun 14 Abad yang lalu menyebutkan “Bunga” dengan kata “Riba”.
               Bukankah riba itu Haram ? Benar, sesuai Firman Allah SWT dalam QS.Al Baqarah 275, “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” Tapi kenapa manusia khususnya umat Islam yang telah meyakini Al Quran sebagai Firman Allah tetap melakukan riba bahkan menjadikan riba sebagai tempat bergantung ketika ada masalah. Persoalannya adalah karena manusia Isti’jal (Buru-buru) dalam mencari solusi, Isti’jal terjadi karena beberapa sebab, diantaranya : Pertama Lemahnya keimanan, manusia lupa bahwa semua permasalahan hidup ini adalah bagian dari cobaan Allah dan dari setiap permasalahan yang ada, pasti Allah telah memberikan solusinya. Keyakinan bahwa apa yang dialami manusia pasti adalah yang terbaik baginya ini pun telah luntur. Kedua Tidak sabar, sabar adalah pegangan yang paling kokoh dalam menghadapi persoalan hidup. Bahkan Allah sering mensejajarkan sabar dengan amalan shalat. Ketika datang masalah harusnya dicermati dulu lalu mencari solusi yang dibenarkan oleh syariat. Seringkali orang mengatakan “Saya sudah sabar tapi belum juga ada solusi”. Sabar haruslah diikuti dengan ilmu, dimana ilmu itulah yang akan mengarahkan untuk memilih solusi apa yang dibenarkan syariat.
               Jadi sabar adalah tetap bersikukuh mengikuti aturan syariat dan meyakini itu sebagai solusi atas persoalan yang dialami. Ketiga Gempuran keras dari pergaulan Kapitalis yang telah mewabah, merebaknya lembaga pemberi pinjaman dengan Riba yang menawarkan segala kemudahan pasti akan membuat siapa saja tergiur dan menjadikannya sebagai tempat bergantung bahkan menjadi ketergantungan (Kalau gak utang rasanya gak enak). Aturan yang dibuat pemerintah dengan memberi kemudahan untuk mendirikan bank, Koperasi atau lembaga pemberi pinjaman turut berperan dalam mempengaruhi keimanan umat untuk beralih dari bergantung pada Allah menjadi bergantung pada Bank (Baca_riba), dari Allah As Shomad menjadi Bank Shomad.

Bergantung penuh pada-Nya
               Umat Islam harus segera sadar untuk tidak mengikuti jejak penentang agama Allah, yaitu kaum Yahudi. Yang memandang segala sesuatu sebagai peluang usaha, banyaknya orang yang membutuhkan pinjaman peluang dan akhirnya mencari keuntungan dari meminjamkan yaitu dengan mengembalikan disertai tambahan dengan berbagai alasan. Dewasa ini banyak ditemukan aktifitas bekerja yang berasaskan riba, hal ini dapat menjatuhkan hukum bekerja menjadi haram dari hukum awal bekerja adalah mubah bagi wanita dan wajib bagi pria. Oleh karena itu umat Islam wajib memahami seperti apa riba itu? Dan bagaimana bentuk-bentuk riba dalam kehidupan saat ini ?
                Riba artinya lebih atau bertambah yang maksudnya adalah akad/perjanjian yang terjadi dengan penukaran yang ditentukan. Menurut para ulama fiqih, riba dibagi menjadi 4 macam, pertama Fadhl, tukar-menukar barang sejenis dengan timbangan yang berbeda yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan. Kedua riba Qardh, yaitu meminjamkan sesuatu dengan syarat ada keuntungan atau tambahan bagi yang meminjami. Riba inilah yang pada umumnya diterapkan oleh bank, koperasi atau lembaga/orang yang meminjamkan uang. Ketiga riba yad, yaitu menjual satu barang dengan 2 harga seperti harga dalam bentuk tunai berbeda dengan harga kredit. Keempat riba Nasi’ah, yaitu pembayaran hutang yang disyaratkan mundur waktunya dengan maksud agar nilai pembayaran bertambah.
               Pengharaman Riba ini berdasarkan nash dan nash tersebut tidak disertai dengan illat apapun. Sehingga keharaman riba ini bersifat mutlak, tidak ada kondisi atau alasan apapun yang dapat merubah status haramnya. Mencari-cari maslahat dari riba adalah bentuk bersiasat pada sesuatu yang haram sehingga perilaku ini haram juga. Bahkan Allah mensejajarkan dengan perilaku syirik seperti dalam HR.Ahmad :
“Sesungguhnya Aku telah Menciptakan hamba-hamba Ku dengan agama yang lurus, namun kemudian datanglah setan dan membelokkan agama mereka, dengan mengharamkan apa yang telah Aku halalkan dan menyuruh mereka untuk mempersekutukan Aku dengan apa yang Aku tidak memberikan kepadanya kekuasaan sedikitpun”
               Larangan riba bisa dilihat dalam QS. Al Baqarah 275-279, QS. Ali Imron 130, QS. An-Nisa 160-161 dan QS.Ar-Ruum 39. Juga dalam hadits” Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan 4 golongan masuk surga atau tidak mendapat petunjuk yaitu peminum arak, pemakan riba, pemakan harta anak yatim dan mereka yang menelantarkan ibu/bapaknya” (HR.Abu Hurairah).”Riba itu mempunyai 73 tingkatan, yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya”(HR.Al Hakim)
               Sikap bergantung seorang muslim pada Allah harus dilakukan secara totalitas tanpa ada keraguan, meninggalkan riba diikuti dengan keyakinan bahwa dibalik pengharaman ini pasti terkandung maslahat yang besar. Allah mengajarkan pada seluruh hambanya untuk bersabar dalam menghadapi semua cobaan dari Allah. Dalam melakukan perbuatan, kewajiban seorang makhluk hanyalah melakukan usaha yang halal (Orientasi pada kualitas amal) bukan memikirkan hasil yang didapatnya karena masalah hasil adalah urusan rizki Allah yang merupakan hak mutlak sang kholik. Menjauhkan semua usaha dari riba adalah bentuk memperbaiki kualitas amal. Jika dalam berbuat berorientasi pada hasil maka yang nantinya muncul adalah putus asa, makanya sering ditemui banyak orang sering protes pada Allah karena sudah berdoa, sholat dhuha, tahajud, tapi Allah tidak kunjung memberi rizki sebagai solusi. Pernahkah difikirkan juga apa makanan yang masuk dalam perut ini terjaga dari barang haram dan juga barang yang diperoleh dengan cara yang haram.
               Sabar juga berarti tidak tergesa-gesa untuk mendapatkan apa yang selalu diinginkan, keinginan jika tidak didasari keimanan yang benar hanyalah hawa nafsu belaka. Jika dikaitkan dengan fakta bulan Juli sebagai bulan Pendaftaran Sekolah, maka orang tua patutnya untuk tidak keburu terjebak dalam kubangan riba. Sebaiknya menyekolahkan anak disesuaikan dengan kemampuan dan berusaha mencari jalan yang dibenarkan Allah. Karena Allah akan memberikan kemudahan jalan bagi orang-orang yang bersungguh-sungguh memegang teguh syariatnya (QS.Ath-Thalaq 2). Para orang tua tidak sepenuhnya disalahkan, karena apa yang dilakukannya adalah akibat dari mahalnya biaya pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan disebabkan salahnya aturan yang diterapkan oleh pemerintah. Kesalahan pemerintah dalam memilih aturan tidak hanya pada aturan pendidikannya tapi juga aturan ekonominya juga. Hal ini ditandai dengan dipeliharanya sistem ribawi dalam pengaturan roda ekonomi, bank-bank atau lembaga keuangan ribawi berkembang dengan subur dan cenderung dipelihara. Semakin sulitnya kehidupan saat ini bisa berarti karena dipeliharanya riba.”Jika riba dan zina muncul disuatu kaum, maka mereka telah mengundang siksa Allah buat diri mereka sendiri”(HR.Hakim)
               Allah mengajarkan agar setiap muslim menciptakan interaksi yang didasari Ta’awun/Saling membantu, menegakkan keadilan dan saling percaya. Jika ada kelebihan harta diperintahkan untuk memberikan pinjaman pada saudaranya yang membutuhkan, bahkan pinjaman itu akan dianggap sebagai shodaqoh. Ibnu Hibban meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah SAW bersabda :
“Tidak seorang muslim pun yang meminjami muslim yang lain dengan suatu pinjaman sebanyak dua kali, kecuali seperti shodaqoh sekali”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar