Minggu, 05 Agustus 2012

Menyambut Ramadhan dengan Menjadikan Ramadhan sebagai bulan Kesungguhan (Sahrul Jihad)


Menyambut Ramadhan dengan Menjadikan Ramadhan sebagai bulan kesungguhan (Sahrul Jihad)

               Tak terasa kita sudah berada diujung bulan Sya’ban yang berarti sebentar lagi kita akan memasuki bulan yang penuh dengan kebaikan, yaitu Bulan Suci Ramadhan. Sebagai seorang muslim kita harus melakukan penyambutan atas hadirnya bulan yang penuh berkah ini, lalu apa yang sudah kita persiapkan untuk menyambutnya?
               Satu hal yang ironi bila tidak memberikan sambutan dan persiapan untuk bulan suci Ramadhan, yaitu kalau kemarin dengan datangnya event Euro Cup saja, masyarakat khususnya umat Islam telah menyambutnya dengan gegap gempita meskipun event tersebut adalah suatu hal yang masih perlu dipertanyakan status hukumnya dalam agama. Ditambah lagi kedatangan bulan suci Ramadhan bersamaan dengan perayaan hari kemerdekaan asingnya “Agustusan”. Berangkat dari situ, jika perkara yang tidak diperintahkan atau mubah dalam agama saja disambut dan dirayakan dengan gemerlap sedangkan bulan suci Ramadhan yang merupakan bulan yang spesial dianggap sebagai hal yang biasa, maka ketaatan dan pengorbanan kita terhadap agama perlu dipertanyakan.
               Berbagai cara memang banyak dilakukan umat Islam mulai dari persiapan tempat ibadah, persiapan materi, persiapan mental, hingga muncul adat atau kebiasaan tertentu. Katakan saja ada istilah megengan atau unggahan yang keduanya bermakna sama dan merupakan bentuk perayaan menjelang Bulan suci Ramadhan. Hingga ada ritual bersih diri mandi di sendang dengan maksud agar jiwa ini bersih dari dosa ketika masuk bulan suci Ramadhan. Lalu bagaimana cara yang dicontohkan Rasulullah dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan?

Persiapan Jiwa
               Rosul adalah satu-satunya Uswah bagi orang-orang yang beriman, kepada beliaulah kita mencari tahu semua yang terkait dengan perkara-perkara dalam kehidupan kita. Persiapan menyambut Ramadhan yang perlu diutamakan adalah persiapan dari sisi mental atau jiwa. Dimana yang dimaksud dengan mental disini adalah aspek ruhiyah yaitu iman. Ibadah puasa di bulan suci Ramadhan adalah suatu hal yang berat kecuali bagi orang-orang yang beriman. Makanya seruan awal terkait kewajiban ini adalah dengan sapaan yang dikhususkan bagi orang-orang yang beriman.
               “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”(QS. Al Baqarah 183)
                Dari dalil di atas ada dua hal yang perlu dipersiapkan terkait dengan Bulan Ramadhan yaitu pertama apa persiapan yang harus kita lakukan untuk memasuki bulan Ramadhan dan kedua hal tersebut kita dapat meraih gelar tertinggi bagi manusia, yaitu”Muttaqin” dan terhindar dari golongan orang-orang yang merugi.
               Keharusan siap dalam segi ruhiyah dalam rangka menyambut datangnya bulan ini juga disiratkan dalam sebuah hadits. Dimana hadits ini juga sering dijadikan dasar dalam memperingati nisfu sya’ban, yaitu:
               “Allah SWT melihat pada semua makhluknya pada malam nisfu sya’ban dan Dia mengampuni mereka semua kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan”(HR.Thabrani dan Ibnu Hibban)
               Namun banyak ulama menyatakan bahwa hadits diatas dhoif, meskipun demikian para ulama juga bersepakat kalau hadits dhoif dapat dipakai untuk kesempurnaan amal. Pada bulan sya’ban banyak orang yang melakukan amal sholeh untuk memperbanyak pahala dengan motivasi hadits diatas. Alasan ini masih dibenarkan karena meskipun hadits diatas dhoif tapi masih diperbolehkan untuk menyempurnakan amal, tapi hadits tersebut tidak diperbolehkan untuk menentukan hukum. Hal itu pun dijelaskan dalam hadits lain yang lebih umum terkait dengan amalan di bulan sya’ban. Usamah bin Zaid berkata
               Ya Rasulullah,”saya tidak pernah melihatmu berpuasa dalam suatu bulan dari bulan-bulan yang ada seperti puasamu di bulan Sya’ban”, maka Rasul menjawab,”Itulah bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan dan merupakan bulan yang di dalamnya diangkat amalan-amalan kepada Rabbul alamin dan saya menyukai amalan saya diangkat sedangkan saya dalam keadaan berpuasa”(HR.Nasa’i)
               Jadi keumuman hadits diatas yang tidak menyebutkan kekhususan pada malam tertentu dan jenis amalan tertentu dalam bulan Sya’ban. Hanya saja Rosulullah mencontohkan berpuasa dan khusus untuk puasa ini Rosul melarang untuk berpuasa 1 atau 2 hari menjelang Ramadhan. Hadits keumuman tentang bulan Sya’ban ini juga diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim dan Abu Daud leawt jalan istri nabi yaitu Aisyah r.a. Dengan adanya perintah untuk meningkatkan amal sholeh pada bulan sya’ban ini menggambarkan pada kita bahwa Rosul melatih kita untuk memiliki iman yang teguh guna menyongsong kedatangan bulan Ramadhan. Dengan melihat hadits dari At Thabrani, disitu disebutkan bahwa Allah mengecualikan rahmad-Nya pada 2 orang, yaitu orang musyrik dan orang yang bermusuhan. Kedua ciri tersebut adalah ciri orang yang tidak memiliki iman.
               Orang musyrik adalah orang yang menduakan Allah, baik itu terkait dengan niat dalam ibadah, yaitu beribadah yang tidak ditujuhkan pada Allah, melainkan untuk manusia atau kepentingan dunia lainnya. Atau juga terkait dengan pelaksanaan tata aturan (syariat) yang tidak sesuai dengan ketentuan Allah. Syariat Allah tidak hanya berkaitan dengan ibadah semata, tapi juga meliputi Ekonomi, Sosial pergaulan, Hukum dan sanksi dan politik. Semua syariat tersebut harus dijalankan berdasarkan ketentuan Allah jika kita termasuk orang beriman. Hal ini dijelaskan dalam firman-Nya QS.An Nisa’ ayat 65 :
               “ Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka selisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap keputusan itu dan menerimanya dengan lapang dada”
Bermusuhan adalah sikap yang tidak mencerminkan kebersamaan dalam kehidupan bermuamalah. Kalau aspek keimanan berkaitan antara manusia dengan robbul’alamin, sedangkan bermusuhan merupakan penunjukan sebagian untuk keseluruhan (tasmiyatul kulli bismiljui). Jadi penunjukan bermusuhan itu mewakili seluruh aspek muamalah manusia baik ekonomi, sosial pergaulan, politik, hukum dan sanksi. Jika diamati, permusuhan diawali dengan rasa iri dengki dan hasut yang kemudian melahirkan kebencian yang membuat seseorang untuk bertindak semaunya dan berakibat pada ketidakterimaan dia pada ketentuan hukum atas dirinya. Karena dia tidak mau untuk dipersalahkan atas perbuatannya.
Tidak akan mungkin muncul perasaan gembira dalam hati seseorang ketika diperintahkan untuk menjalankan perintah agama apabila orang itu tidak memiliki keimanan. Keimanan yang dimaksud disini berarti keyakinan akan kebenaran seruan tersebut sebagai seruan Allah yang pasti akan mengandung kebaikan dan pasti mampu untuk dilaksanakan oleh manusia. Serta yakin dengan sebenarnya akan imbalan yang diberikan terkait perintah tersebut, apakah imbalan itu berupa pahala bagi yang mengerjakan atau dosa dan siksa api neraka bagi yang meninggalkannya. Selain itu ciri orang beriman adalah percaya dengan syariat Allah dan yakin bahwa syariatnya pasti akan mengandung kebaikan. Sifat yang harus muncul dari orang yang beriman adalah khudu’, ridho dan taslim. Hanya dengan sifat-sifat inilah orang itu akan menjalankan ibadah puasa dengan tanpa ada rasa keberatan sama sekali. Khudu’ yang berarti tunduk pada ketentuan yang telah Allah tetapkan termasuk disini adalah ketentuan tentang wajibnya berpuasa. Ridho artinya rela menerima dan tentunya menjalankannya tanpa ada rasa brontak atau tidak terima. Taslim adalah pasrah yang berarti yakin bahwa dibalik setiap perintah Allah pasti mengandung nilai kebaikan.

Persiapan mengisi Ramadhan
               Perhatian Rasul yang mencontohkan pada kita untuk melatih iman dengan jalan menggiatkan amal sholeh di bulan Sya’ban cukup memberi pelajaran bagi kita betapa mulia dan pentingnya bulan Ramadhan bagi umat islam. Oleh karena itu bulan Ramadhan jangan sampai berlalu begitu saja tanpa ada peningkatan atau perubahan yang lebih baik. Untuk melakukan perubahan yang lebih baik, perlu ada dua hal yaitu aspek keilmuan dan kesungguhan.
               Ilmu menjadi aspek mendasar untuk melakukan revolusi amal. Karena semua amal itu harus berangkat dari sebuah keilmuan, ilmu dalam amal seperti navigasi atau petunjuk yang berarti bahwa ilmu itu mengarahkan supaya tidak tersesat pada amal yang salah. Dan Sa’id bin Zubair ia berkata:
               “Tidaklah diterima suatu perkataan melainkan diiringi amal, dan tidak akan diterima perkataan dan amal kecuali disertai dengan niat. Dan tidak akan diterima perkataan, amal, dan niat kecuali disesuaikan dengan sunnah Nabi SAW”
               Untuk mengetahui sunnah Nabi SAW, maka tiada jalan lain kecuali hanya dengan belajar. Oleh karena itu dalam bulan Ramadhan nanti hendaknya memperbanyak majelis ilmu. Di masjid, musholla disediakan sarana untuk belajar lewat kultum atau bisa menempuh jalan lain yaitu dengan mendatangkan ustadz ke rumah untuk belajar. Mulai dari belajar membaca dan memperdalam Al-Quran, Fiqih, wawasan beragama, dan perkara lainnya. Hal inilah yang harus benar-benar kita latih sejak sekarang dan dipersiapkan untuk mengisi bulan Ramadhan nanti. Waktu dan kesempatan wajib untuk disediakan dan diluangkan untuk hal itu. Dalam diri ini harus dimotivasi untuk meluangkan waktu dan kesempatan, berapa jam dalam sehari yang diabdikan untuk Allah? Sehingga seharian waktu tidak hanya habis untuk kepentingan dunia semata.
                   Meluangkan waktu dan kesempatan harus benar-benar dipersiapkan dan direncanakan sebelum Ramadhan. Selain itu untuk menyempurnakan amal tidak hanya perlu ilmu saja tetapi juga perlu kesungguhan untuk melaksanakannya. Rasulullah SAW bersabda, “aamanuubillahi tsummastaqim” (Berimanlah kepada Allah dan teguhkanlah). Keteguhan menjalankan amal merupakan sarana untuk mengokohkan iman karena amal merupakan alat untuk membina iman. Kesungguhan harus ditanamkan dalam menjalankan semua amal. Jika setiap amal dijalankan dengan sungguh-sungguh, maka kita pasti akan mendapatkan makna ruhiyah yang ada dibaliknya. Seperti halnya shalat, jika dikerjakan dengan sungguh-sungguh, maka shalat itu akan mencegah diri dari perbuatan maksiat. Kesungguhan harus ditanamkan dalam menjalankan semua syariat Allah tanpa membeda-bedakannya karena semua syariat Allah itu saling mendukung. Termasuk perintah untuk menegakkan shalat, yang dimaksud disitu adalah menjalankan semua perintah Allah. Kewajiban menutup aurat, kewajiban berhukum, berpolitik, kewajiban berdagang atau berbisnis tanpa riba, bergaul tanpa khalwat (berdua) dan ikhtilat (bercampur) memerlukan kesungguhan untuk melaksanakan dan itu semua harus diimani dengan keyakinan penuh bahwa semua itu adalah perintah Allah yang harus dilaksanakan dan jika dilaksanakan pasti mengandung kebaikan bagi kehidupan umat.
Menyambut Ramadhan dengan Menjadikan Ramadhan sebagai bulan kesungguhan (Sahrul Jihad)

               Tak terasa kita sudah berada diujung bulan Sya’ban yang berarti sebentar lagi kita akan memasuki bulan yang penuh dengan kebaikan, yaitu Bulan Suci Ramadhan. Sebagai seorang muslim kita harus melakukan penyambutan atas hadirnya bulan yang penuh berkah ini, lalu apa yang sudah kita persiapkan untuk menyambutnya?
               Satu hal yang ironi bila tidak memberikan sambutan dan persiapan untuk bulan suci Ramadhan, yaitu kalau kemarin dengan datangnya event Euro Cup saja, masyarakat khususnya umat Islam telah menyambutnya dengan gegap gempita meskipun event tersebut adalah suatu hal yang masih perlu dipertanyakan status hukumnya dalam agama. Ditambah lagi kedatangan bulan suci Ramadhan bersamaan dengan perayaan hari kemerdekaan asingnya “Agustusan”. Berangkat dari situ, jika perkara yang tidak diperintahkan atau mubah dalam agama saja disambut dan dirayakan dengan gemerlap sedangkan bulan suci Ramadhan yang merupakan bulan yang spesial dianggap sebagai hal yang biasa, maka ketaatan dan pengorbanan kita terhadap agama perlu dipertanyakan.
               Berbagai cara memang banyak dilakukan umat Islam mulai dari persiapan tempat ibadah, persiapan materi, persiapan mental, hingga muncul adat atau kebiasaan tertentu. Katakan saja ada istilah megengan atau unggahan yang keduanya bermakna sama dan merupakan bentuk perayaan menjelang Bulan suci Ramadhan. Hingga ada ritual bersih diri mandi di sendang dengan maksud agar jiwa ini bersih dari dosa ketika masuk bulan suci Ramadhan. Lalu bagaimana cara yang dicontohkan Rasulullah dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan?

Persiapan Jiwa
               Rosul adalah satu-satunya Uswah bagi orang-orang yang beriman, kepada beliaulah kita mencari tahu semua yang terkait dengan perkara-perkara dalam kehidupan kita. Persiapan menyambut Ramadhan yang perlu diutamakan adalah persiapan dari sisi mental atau jiwa. Dimana yang dimaksud dengan mental disini adalah aspek ruhiyah yaitu iman. Ibadah puasa di bulan suci Ramadhan adalah suatu hal yang berat kecuali bagi orang-orang yang beriman. Makanya seruan awal terkait kewajiban ini adalah dengan sapaan yang dikhususkan bagi orang-orang yang beriman.
               “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”(QS. Al Baqarah 183)
                Dari dalil di atas ada dua hal yang perlu dipersiapkan terkait dengan Bulan Ramadhan yaitu pertama apa persiapan yang harus kita lakukan untuk memasuki bulan Ramadhan dan kedua hal tersebut kita dapat meraih gelar tertinggi bagi manusia, yaitu”Muttaqin” dan terhindar dari golongan orang-orang yang merugi.
               Keharusan siap dalam segi ruhiyah dalam rangka menyambut datangnya bulan ini juga disiratkan dalam sebuah hadits. Dimana hadits ini juga sering dijadikan dasar dalam memperingati nisfu sya’ban, yaitu:
               “Allah SWT melihat pada semua makhluknya pada malam nisfu sya’ban dan Dia mengampuni mereka semua kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan”(HR.Thabrani dan Ibnu Hibban)
               Namun banyak ulama menyatakan bahwa hadits diatas dhoif, meskipun demikian para ulama juga bersepakat kalau hadits dhoif dapat dipakai untuk kesempurnaan amal. Pada bulan sya’ban banyak orang yang melakukan amal sholeh untuk memperbanyak pahala dengan motivasi hadits diatas. Alasan ini masih dibenarkan karena meskipun hadits diatas dhoif tapi masih diperbolehkan untuk menyempurnakan amal, tapi hadits tersebut tidak diperbolehkan untuk menentukan hukum. Hal itu pun dijelaskan dalam hadits lain yang lebih umum terkait dengan amalan di bulan sya’ban. Usamah bin Zaid berkata
               Ya Rasulullah,”saya tidak pernah melihatmu berpuasa dalam suatu bulan dari bulan-bulan yang ada seperti puasamu di bulan Sya’ban”, maka Rasul menjawab,”Itulah bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan dan merupakan bulan yang di dalamnya diangkat amalan-amalan kepada Rabbul alamin dan saya menyukai amalan saya diangkat sedangkan saya dalam keadaan berpuasa”(HR.Nasa’i)
               Jadi keumuman hadits diatas yang tidak menyebutkan kekhususan pada malam tertentu dan jenis amalan tertentu dalam bulan Sya’ban. Hanya saja Rosulullah mencontohkan berpuasa dan khusus untuk puasa ini Rosul melarang untuk berpuasa 1 atau 2 hari menjelang Ramadhan. Hadits keumuman tentang bulan Sya’ban ini juga diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim dan Abu Daud leawt jalan istri nabi yaitu Aisyah r.a. Dengan adanya perintah untuk meningkatkan amal sholeh pada bulan sya’ban ini menggambarkan pada kita bahwa Rosul melatih kita untuk memiliki iman yang teguh guna menyongsong kedatangan bulan Ramadhan. Dengan melihat hadits dari At Thabrani, disitu disebutkan bahwa Allah mengecualikan rahmad-Nya pada 2 orang, yaitu orang musyrik dan orang yang bermusuhan. Kedua ciri tersebut adalah ciri orang yang tidak memiliki iman.
               Orang musyrik adalah orang yang menduakan Allah, baik itu terkait dengan niat dalam ibadah, yaitu beribadah yang tidak ditujuhkan pada Allah, melainkan untuk manusia atau kepentingan dunia lainnya. Atau juga terkait dengan pelaksanaan tata aturan (syariat) yang tidak sesuai dengan ketentuan Allah. Syariat Allah tidak hanya berkaitan dengan ibadah semata, tapi juga meliputi Ekonomi, Sosial pergaulan, Hukum dan sanksi dan politik. Semua syariat tersebut harus dijalankan berdasarkan ketentuan Allah jika kita termasuk orang beriman. Hal ini dijelaskan dalam firman-Nya QS.An Nisa’ ayat 65 :
               “ Maka demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka selisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap keputusan itu dan menerimanya dengan lapang dada”
Bermusuhan adalah sikap yang tidak mencerminkan kebersamaan dalam kehidupan bermuamalah. Kalau aspek keimanan berkaitan antara manusia dengan robbul’alamin, sedangkan bermusuhan merupakan penunjukan sebagian untuk keseluruhan (tasmiyatul kulli bismiljui). Jadi penunjukan bermusuhan itu mewakili seluruh aspek muamalah manusia baik ekonomi, sosial pergaulan, politik, hukum dan sanksi. Jika diamati, permusuhan diawali dengan rasa iri dengki dan hasut yang kemudian melahirkan kebencian yang membuat seseorang untuk bertindak semaunya dan berakibat pada ketidakterimaan dia pada ketentuan hukum atas dirinya. Karena dia tidak mau untuk dipersalahkan atas perbuatannya.
Tidak akan mungkin muncul perasaan gembira dalam hati seseorang ketika diperintahkan untuk menjalankan perintah agama apabila orang itu tidak memiliki keimanan. Keimanan yang dimaksud disini berarti keyakinan akan kebenaran seruan tersebut sebagai seruan Allah yang pasti akan mengandung kebaikan dan pasti mampu untuk dilaksanakan oleh manusia. Serta yakin dengan sebenarnya akan imbalan yang diberikan terkait perintah tersebut, apakah imbalan itu berupa pahala bagi yang mengerjakan atau dosa dan siksa api neraka bagi yang meninggalkannya. Selain itu ciri orang beriman adalah percaya dengan syariat Allah dan yakin bahwa syariatnya pasti akan mengandung kebaikan. Sifat yang harus muncul dari orang yang beriman adalah khudu’, ridho dan taslim. Hanya dengan sifat-sifat inilah orang itu akan menjalankan ibadah puasa dengan tanpa ada rasa keberatan sama sekali. Khudu’ yang berarti tunduk pada ketentuan yang telah Allah tetapkan termasuk disini adalah ketentuan tentang wajibnya berpuasa. Ridho artinya rela menerima dan tentunya menjalankannya tanpa ada rasa brontak atau tidak terima. Taslim adalah pasrah yang berarti yakin bahwa dibalik setiap perintah Allah pasti mengandung nilai kebaikan.

Persiapan mengisi Ramadhan
               Perhatian Rasul yang mencontohkan pada kita untuk melatih iman dengan jalan menggiatkan amal sholeh di bulan Sya’ban cukup memberi pelajaran bagi kita betapa mulia dan pentingnya bulan Ramadhan bagi umat islam. Oleh karena itu bulan Ramadhan jangan sampai berlalu begitu saja tanpa ada peningkatan atau perubahan yang lebih baik. Untuk melakukan perubahan yang lebih baik, perlu ada dua hal yaitu aspek keilmuan dan kesungguhan.
               Ilmu menjadi aspek mendasar untuk melakukan revolusi amal. Karena semua amal itu harus berangkat dari sebuah keilmuan, ilmu dalam amal seperti navigasi atau petunjuk yang berarti bahwa ilmu itu mengarahkan supaya tidak tersesat pada amal yang salah. Dan Sa’id bin Zubair ia berkata:
               “Tidaklah diterima suatu perkataan melainkan diiringi amal, dan tidak akan diterima perkataan dan amal kecuali disertai dengan niat. Dan tidak akan diterima perkataan, amal, dan niat kecuali disesuaikan dengan sunnah Nabi SAW”
               Untuk mengetahui sunnah Nabi SAW, maka tiada jalan lain kecuali hanya dengan belajar. Oleh karena itu dalam bulan Ramadhan nanti hendaknya memperbanyak majelis ilmu. Di masjid, musholla disediakan sarana untuk belajar lewat kultum atau bisa menempuh jalan lain yaitu dengan mendatangkan ustadz ke rumah untuk belajar. Mulai dari belajar membaca dan memperdalam Al-Quran, Fiqih, wawasan beragama, dan perkara lainnya. Hal inilah yang harus benar-benar kita latih sejak sekarang dan dipersiapkan untuk mengisi bulan Ramadhan nanti. Waktu dan kesempatan wajib untuk disediakan dan diluangkan untuk hal itu. Dalam diri ini harus dimotivasi untuk meluangkan waktu dan kesempatan, berapa jam dalam sehari yang diabdikan untuk Allah? Sehingga seharian waktu tidak hanya habis untuk kepentingan dunia semata.
                   Meluangkan waktu dan kesempatan harus benar-benar dipersiapkan dan direncanakan sebelum Ramadhan. Selain itu untuk menyempurnakan amal tidak hanya perlu ilmu saja tetapi juga perlu kesungguhan untuk melaksanakannya. Rasulullah SAW bersabda, “aamanuubillahi tsummastaqim” (Berimanlah kepada Allah dan teguhkanlah). Keteguhan menjalankan amal merupakan sarana untuk mengokohkan iman karena amal merupakan alat untuk membina iman. Kesungguhan harus ditanamkan dalam menjalankan semua amal. Jika setiap amal dijalankan dengan sungguh-sungguh, maka kita pasti akan mendapatkan makna ruhiyah yang ada dibaliknya. Seperti halnya shalat, jika dikerjakan dengan sungguh-sungguh, maka shalat itu akan mencegah diri dari perbuatan maksiat. Kesungguhan harus ditanamkan dalam menjalankan semua syariat Allah tanpa membeda-bedakannya karena semua syariat Allah itu saling mendukung. Termasuk perintah untuk menegakkan shalat, yang dimaksud disitu adalah menjalankan semua perintah Allah. Kewajiban menutup aurat, kewajiban berhukum, berpolitik, kewajiban berdagang atau berbisnis tanpa riba, bergaul tanpa khalwat (berdua) dan ikhtilat (bercampur) memerlukan kesungguhan untuk melaksanakan dan itu semua harus diimani dengan keyakinan penuh bahwa semua itu adalah perintah Allah yang harus dilaksanakan dan jika dilaksanakan pasti mengandung kebaikan bagi kehidupan umat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar