Menyambut Ramadhan dengan Menjadikan Ramadhan sebagai
bulan kesungguhan (Sahrul Jihad)
Tak terasa kita sudah berada
diujung bulan Sya’ban yang berarti sebentar lagi kita akan memasuki bulan yang
penuh dengan kebaikan, yaitu Bulan Suci Ramadhan. Sebagai seorang muslim kita
harus melakukan penyambutan atas hadirnya bulan yang penuh berkah ini, lalu apa
yang sudah kita persiapkan untuk menyambutnya?
Satu hal yang ironi bila tidak
memberikan sambutan dan persiapan untuk bulan suci Ramadhan, yaitu kalau kemarin
dengan datangnya event Euro Cup saja, masyarakat khususnya umat Islam telah
menyambutnya dengan gegap gempita meskipun event tersebut adalah suatu hal yang
masih perlu dipertanyakan status hukumnya dalam agama. Ditambah lagi kedatangan
bulan suci Ramadhan bersamaan dengan perayaan hari kemerdekaan asingnya
“Agustusan”. Berangkat dari situ, jika perkara yang tidak diperintahkan atau
mubah dalam agama saja disambut dan dirayakan dengan gemerlap sedangkan bulan
suci Ramadhan yang merupakan bulan yang spesial dianggap sebagai hal yang
biasa, maka ketaatan dan pengorbanan kita terhadap agama perlu dipertanyakan.
Berbagai cara memang banyak
dilakukan umat Islam mulai dari persiapan tempat ibadah, persiapan materi,
persiapan mental, hingga muncul adat atau kebiasaan tertentu. Katakan saja ada
istilah megengan atau unggahan yang keduanya bermakna sama dan merupakan bentuk
perayaan menjelang Bulan suci Ramadhan. Hingga ada ritual bersih diri mandi di
sendang dengan maksud agar jiwa ini bersih dari dosa ketika masuk bulan suci
Ramadhan. Lalu bagaimana cara yang dicontohkan Rasulullah dalam menyambut
datangnya bulan suci Ramadhan?
Persiapan
Jiwa
Rosul adalah satu-satunya Uswah
bagi orang-orang yang beriman, kepada beliaulah kita mencari tahu semua yang
terkait dengan perkara-perkara dalam kehidupan kita. Persiapan menyambut
Ramadhan yang perlu diutamakan adalah persiapan dari sisi mental atau jiwa.
Dimana yang dimaksud dengan mental disini adalah aspek ruhiyah yaitu iman.
Ibadah puasa di bulan suci Ramadhan adalah suatu hal yang berat kecuali bagi
orang-orang yang beriman. Makanya seruan awal terkait kewajiban ini adalah
dengan sapaan yang dikhususkan bagi orang-orang yang beriman.
“Hai orang-orang yang beriman
diwajibkan atas kamu untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertaqwa”(QS. Al Baqarah 183)
Dari
dalil di atas ada dua hal yang perlu dipersiapkan terkait dengan Bulan Ramadhan
yaitu pertama apa persiapan yang harus kita lakukan untuk memasuki bulan
Ramadhan dan kedua hal tersebut kita dapat meraih gelar tertinggi bagi manusia,
yaitu”Muttaqin” dan terhindar dari golongan orang-orang yang merugi.
Keharusan siap dalam segi ruhiyah
dalam rangka menyambut datangnya bulan ini juga disiratkan dalam sebuah hadits.
Dimana hadits ini juga sering dijadikan dasar dalam memperingati nisfu sya’ban,
yaitu:
“Allah SWT melihat pada semua
makhluknya pada malam nisfu sya’ban dan Dia mengampuni mereka semua kecuali
orang musyrik dan orang yang bermusuhan”(HR.Thabrani dan Ibnu Hibban)
Namun banyak ulama menyatakan
bahwa hadits diatas dhoif, meskipun demikian para ulama juga bersepakat kalau
hadits dhoif dapat dipakai untuk kesempurnaan amal. Pada bulan sya’ban banyak
orang yang melakukan amal sholeh untuk memperbanyak pahala dengan motivasi
hadits diatas. Alasan ini masih dibenarkan karena meskipun hadits diatas dhoif
tapi masih diperbolehkan untuk menyempurnakan amal, tapi hadits tersebut tidak
diperbolehkan untuk menentukan hukum. Hal itu pun dijelaskan dalam hadits lain
yang lebih umum terkait dengan amalan di bulan sya’ban. Usamah bin Zaid berkata
Ya Rasulullah,”saya tidak pernah
melihatmu berpuasa dalam suatu bulan dari bulan-bulan yang ada seperti puasamu di
bulan Sya’ban”, maka Rasul menjawab,”Itulah bulan yang manusia lalai darinya
antara Rajab dan Ramadhan dan merupakan bulan yang di dalamnya diangkat
amalan-amalan kepada Rabbul alamin dan saya menyukai amalan saya diangkat
sedangkan saya dalam keadaan berpuasa”(HR.Nasa’i)
Jadi keumuman hadits diatas yang
tidak menyebutkan kekhususan pada malam tertentu dan jenis amalan tertentu
dalam bulan Sya’ban. Hanya saja Rosulullah mencontohkan berpuasa dan khusus
untuk puasa ini Rosul melarang untuk berpuasa 1 atau 2 hari menjelang Ramadhan.
Hadits keumuman tentang bulan Sya’ban ini juga diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim
dan Abu Daud leawt jalan istri nabi yaitu Aisyah r.a. Dengan adanya perintah
untuk meningkatkan amal sholeh pada bulan sya’ban ini menggambarkan pada kita
bahwa Rosul melatih kita untuk memiliki iman yang teguh guna menyongsong
kedatangan bulan Ramadhan. Dengan melihat hadits dari At Thabrani, disitu
disebutkan bahwa Allah mengecualikan rahmad-Nya pada 2 orang, yaitu orang
musyrik dan orang yang bermusuhan. Kedua ciri tersebut adalah ciri orang yang
tidak memiliki iman.
Orang musyrik adalah orang yang
menduakan Allah, baik itu terkait dengan niat dalam ibadah, yaitu beribadah
yang tidak ditujuhkan pada Allah, melainkan untuk manusia atau kepentingan
dunia lainnya. Atau juga terkait dengan pelaksanaan tata aturan (syariat) yang
tidak sesuai dengan ketentuan Allah. Syariat Allah tidak hanya berkaitan dengan
ibadah semata, tapi juga meliputi Ekonomi, Sosial pergaulan, Hukum dan sanksi
dan politik. Semua syariat tersebut harus dijalankan berdasarkan ketentuan
Allah jika kita termasuk orang beriman. Hal ini dijelaskan dalam firman-Nya
QS.An Nisa’ ayat 65 :
“ Maka demi Tuhanmu, mereka pada
hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara
yang mereka selisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu
keberatan terhadap keputusan itu dan menerimanya dengan lapang dada”
Bermusuhan adalah sikap yang tidak mencerminkan
kebersamaan dalam kehidupan bermuamalah. Kalau aspek keimanan berkaitan antara
manusia dengan robbul’alamin, sedangkan bermusuhan merupakan penunjukan
sebagian untuk keseluruhan (tasmiyatul kulli bismiljui). Jadi penunjukan
bermusuhan itu mewakili seluruh aspek muamalah manusia baik ekonomi, sosial
pergaulan, politik, hukum dan sanksi. Jika diamati, permusuhan diawali dengan
rasa iri dengki dan hasut yang kemudian melahirkan kebencian yang membuat
seseorang untuk bertindak semaunya dan berakibat pada ketidakterimaan dia pada
ketentuan hukum atas dirinya. Karena dia tidak mau untuk dipersalahkan atas
perbuatannya.
Tidak akan mungkin muncul perasaan gembira dalam hati
seseorang ketika diperintahkan untuk menjalankan perintah agama apabila orang
itu tidak memiliki keimanan. Keimanan yang dimaksud disini berarti keyakinan
akan kebenaran seruan tersebut sebagai seruan Allah yang pasti akan mengandung
kebaikan dan pasti mampu untuk dilaksanakan oleh manusia. Serta yakin dengan
sebenarnya akan imbalan yang diberikan terkait perintah tersebut, apakah
imbalan itu berupa pahala bagi yang mengerjakan atau dosa dan siksa api neraka
bagi yang meninggalkannya. Selain itu ciri orang beriman adalah percaya dengan
syariat Allah dan yakin bahwa syariatnya pasti akan mengandung kebaikan. Sifat
yang harus muncul dari orang yang beriman adalah khudu’, ridho dan taslim.
Hanya dengan sifat-sifat inilah orang itu akan menjalankan ibadah puasa dengan
tanpa ada rasa keberatan sama sekali. Khudu’ yang berarti tunduk pada ketentuan
yang telah Allah tetapkan termasuk disini adalah ketentuan tentang wajibnya
berpuasa. Ridho artinya rela menerima dan tentunya menjalankannya tanpa ada
rasa brontak atau tidak terima. Taslim adalah pasrah yang berarti yakin bahwa
dibalik setiap perintah Allah pasti mengandung nilai kebaikan.
Persiapan
mengisi Ramadhan
Perhatian Rasul yang mencontohkan
pada kita untuk melatih iman dengan jalan menggiatkan amal sholeh di bulan Sya’ban
cukup memberi pelajaran bagi kita betapa mulia dan pentingnya bulan Ramadhan bagi
umat islam. Oleh karena itu bulan Ramadhan jangan sampai berlalu begitu saja
tanpa ada peningkatan atau perubahan yang lebih baik. Untuk melakukan perubahan
yang lebih baik, perlu ada dua hal yaitu aspek keilmuan dan kesungguhan.
Ilmu menjadi aspek mendasar untuk
melakukan revolusi amal. Karena semua amal itu harus berangkat dari sebuah
keilmuan, ilmu dalam amal seperti navigasi atau petunjuk yang berarti bahwa
ilmu itu mengarahkan supaya tidak tersesat pada amal yang salah. Dan Sa’id bin
Zubair ia berkata:
“Tidaklah diterima suatu
perkataan melainkan diiringi amal, dan tidak akan diterima perkataan dan amal
kecuali disertai dengan niat. Dan tidak akan diterima perkataan, amal, dan niat
kecuali disesuaikan dengan sunnah Nabi SAW”
Untuk mengetahui sunnah Nabi SAW,
maka tiada jalan lain kecuali hanya dengan belajar. Oleh karena itu dalam bulan
Ramadhan nanti hendaknya memperbanyak majelis ilmu. Di masjid, musholla
disediakan sarana untuk belajar lewat kultum atau bisa menempuh jalan lain
yaitu dengan mendatangkan ustadz ke rumah untuk belajar. Mulai dari belajar
membaca dan memperdalam Al-Quran, Fiqih, wawasan beragama, dan perkara lainnya.
Hal inilah yang harus benar-benar kita latih sejak sekarang dan dipersiapkan
untuk mengisi bulan Ramadhan nanti. Waktu dan kesempatan wajib untuk disediakan
dan diluangkan untuk hal itu. Dalam diri ini harus dimotivasi untuk meluangkan
waktu dan kesempatan, berapa jam dalam sehari yang diabdikan untuk Allah?
Sehingga seharian waktu tidak hanya habis untuk kepentingan dunia semata.
Meluangkan waktu
dan kesempatan harus benar-benar dipersiapkan dan direncanakan sebelum
Ramadhan. Selain itu untuk menyempurnakan amal tidak hanya perlu ilmu saja
tetapi juga perlu kesungguhan untuk melaksanakannya. Rasulullah SAW bersabda, “aamanuubillahi
tsummastaqim” (Berimanlah kepada Allah dan teguhkanlah). Keteguhan menjalankan
amal merupakan sarana untuk mengokohkan iman karena amal merupakan alat untuk
membina iman. Kesungguhan harus ditanamkan dalam menjalankan semua amal. Jika
setiap amal dijalankan dengan sungguh-sungguh, maka kita pasti akan mendapatkan
makna ruhiyah yang ada dibaliknya. Seperti halnya shalat, jika dikerjakan
dengan sungguh-sungguh, maka shalat itu akan mencegah diri dari perbuatan
maksiat. Kesungguhan harus ditanamkan dalam menjalankan semua syariat Allah
tanpa membeda-bedakannya karena semua syariat Allah itu saling mendukung.
Termasuk perintah untuk menegakkan shalat, yang dimaksud disitu adalah menjalankan
semua perintah Allah. Kewajiban menutup aurat, kewajiban berhukum, berpolitik,
kewajiban berdagang atau berbisnis tanpa riba, bergaul tanpa khalwat (berdua)
dan ikhtilat (bercampur) memerlukan kesungguhan untuk melaksanakan dan itu
semua harus diimani dengan keyakinan penuh bahwa semua itu adalah perintah
Allah yang harus dilaksanakan dan jika dilaksanakan pasti mengandung kebaikan bagi
kehidupan umat.
Menyambut Ramadhan dengan Menjadikan Ramadhan sebagai
bulan kesungguhan (Sahrul Jihad)
Tak terasa kita sudah berada
diujung bulan Sya’ban yang berarti sebentar lagi kita akan memasuki bulan yang
penuh dengan kebaikan, yaitu Bulan Suci Ramadhan. Sebagai seorang muslim kita
harus melakukan penyambutan atas hadirnya bulan yang penuh berkah ini, lalu apa
yang sudah kita persiapkan untuk menyambutnya?
Satu hal yang ironi bila tidak
memberikan sambutan dan persiapan untuk bulan suci Ramadhan, yaitu kalau kemarin
dengan datangnya event Euro Cup saja, masyarakat khususnya umat Islam telah
menyambutnya dengan gegap gempita meskipun event tersebut adalah suatu hal yang
masih perlu dipertanyakan status hukumnya dalam agama. Ditambah lagi kedatangan
bulan suci Ramadhan bersamaan dengan perayaan hari kemerdekaan asingnya
“Agustusan”. Berangkat dari situ, jika perkara yang tidak diperintahkan atau
mubah dalam agama saja disambut dan dirayakan dengan gemerlap sedangkan bulan
suci Ramadhan yang merupakan bulan yang spesial dianggap sebagai hal yang
biasa, maka ketaatan dan pengorbanan kita terhadap agama perlu dipertanyakan.
Berbagai cara memang banyak
dilakukan umat Islam mulai dari persiapan tempat ibadah, persiapan materi,
persiapan mental, hingga muncul adat atau kebiasaan tertentu. Katakan saja ada
istilah megengan atau unggahan yang keduanya bermakna sama dan merupakan bentuk
perayaan menjelang Bulan suci Ramadhan. Hingga ada ritual bersih diri mandi di
sendang dengan maksud agar jiwa ini bersih dari dosa ketika masuk bulan suci
Ramadhan. Lalu bagaimana cara yang dicontohkan Rasulullah dalam menyambut
datangnya bulan suci Ramadhan?
Persiapan
Jiwa
Rosul adalah satu-satunya Uswah
bagi orang-orang yang beriman, kepada beliaulah kita mencari tahu semua yang
terkait dengan perkara-perkara dalam kehidupan kita. Persiapan menyambut
Ramadhan yang perlu diutamakan adalah persiapan dari sisi mental atau jiwa.
Dimana yang dimaksud dengan mental disini adalah aspek ruhiyah yaitu iman.
Ibadah puasa di bulan suci Ramadhan adalah suatu hal yang berat kecuali bagi
orang-orang yang beriman. Makanya seruan awal terkait kewajiban ini adalah
dengan sapaan yang dikhususkan bagi orang-orang yang beriman.
“Hai orang-orang yang beriman
diwajibkan atas kamu untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertaqwa”(QS. Al Baqarah 183)
Dari
dalil di atas ada dua hal yang perlu dipersiapkan terkait dengan Bulan Ramadhan
yaitu pertama apa persiapan yang harus kita lakukan untuk memasuki bulan
Ramadhan dan kedua hal tersebut kita dapat meraih gelar tertinggi bagi manusia,
yaitu”Muttaqin” dan terhindar dari golongan orang-orang yang merugi.
Keharusan siap dalam segi ruhiyah
dalam rangka menyambut datangnya bulan ini juga disiratkan dalam sebuah hadits.
Dimana hadits ini juga sering dijadikan dasar dalam memperingati nisfu sya’ban,
yaitu:
“Allah SWT melihat pada semua
makhluknya pada malam nisfu sya’ban dan Dia mengampuni mereka semua kecuali
orang musyrik dan orang yang bermusuhan”(HR.Thabrani dan Ibnu Hibban)
Namun banyak ulama menyatakan
bahwa hadits diatas dhoif, meskipun demikian para ulama juga bersepakat kalau
hadits dhoif dapat dipakai untuk kesempurnaan amal. Pada bulan sya’ban banyak
orang yang melakukan amal sholeh untuk memperbanyak pahala dengan motivasi
hadits diatas. Alasan ini masih dibenarkan karena meskipun hadits diatas dhoif
tapi masih diperbolehkan untuk menyempurnakan amal, tapi hadits tersebut tidak
diperbolehkan untuk menentukan hukum. Hal itu pun dijelaskan dalam hadits lain
yang lebih umum terkait dengan amalan di bulan sya’ban. Usamah bin Zaid berkata
Ya Rasulullah,”saya tidak pernah
melihatmu berpuasa dalam suatu bulan dari bulan-bulan yang ada seperti puasamu di
bulan Sya’ban”, maka Rasul menjawab,”Itulah bulan yang manusia lalai darinya
antara Rajab dan Ramadhan dan merupakan bulan yang di dalamnya diangkat
amalan-amalan kepada Rabbul alamin dan saya menyukai amalan saya diangkat
sedangkan saya dalam keadaan berpuasa”(HR.Nasa’i)
Jadi keumuman hadits diatas yang
tidak menyebutkan kekhususan pada malam tertentu dan jenis amalan tertentu
dalam bulan Sya’ban. Hanya saja Rosulullah mencontohkan berpuasa dan khusus
untuk puasa ini Rosul melarang untuk berpuasa 1 atau 2 hari menjelang Ramadhan.
Hadits keumuman tentang bulan Sya’ban ini juga diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim
dan Abu Daud leawt jalan istri nabi yaitu Aisyah r.a. Dengan adanya perintah
untuk meningkatkan amal sholeh pada bulan sya’ban ini menggambarkan pada kita
bahwa Rosul melatih kita untuk memiliki iman yang teguh guna menyongsong
kedatangan bulan Ramadhan. Dengan melihat hadits dari At Thabrani, disitu
disebutkan bahwa Allah mengecualikan rahmad-Nya pada 2 orang, yaitu orang
musyrik dan orang yang bermusuhan. Kedua ciri tersebut adalah ciri orang yang
tidak memiliki iman.
Orang musyrik adalah orang yang
menduakan Allah, baik itu terkait dengan niat dalam ibadah, yaitu beribadah
yang tidak ditujuhkan pada Allah, melainkan untuk manusia atau kepentingan
dunia lainnya. Atau juga terkait dengan pelaksanaan tata aturan (syariat) yang
tidak sesuai dengan ketentuan Allah. Syariat Allah tidak hanya berkaitan dengan
ibadah semata, tapi juga meliputi Ekonomi, Sosial pergaulan, Hukum dan sanksi
dan politik. Semua syariat tersebut harus dijalankan berdasarkan ketentuan
Allah jika kita termasuk orang beriman. Hal ini dijelaskan dalam firman-Nya
QS.An Nisa’ ayat 65 :
“ Maka demi Tuhanmu, mereka pada
hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara
yang mereka selisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu
keberatan terhadap keputusan itu dan menerimanya dengan lapang dada”
Bermusuhan adalah sikap yang tidak mencerminkan
kebersamaan dalam kehidupan bermuamalah. Kalau aspek keimanan berkaitan antara
manusia dengan robbul’alamin, sedangkan bermusuhan merupakan penunjukan
sebagian untuk keseluruhan (tasmiyatul kulli bismiljui). Jadi penunjukan
bermusuhan itu mewakili seluruh aspek muamalah manusia baik ekonomi, sosial
pergaulan, politik, hukum dan sanksi. Jika diamati, permusuhan diawali dengan
rasa iri dengki dan hasut yang kemudian melahirkan kebencian yang membuat
seseorang untuk bertindak semaunya dan berakibat pada ketidakterimaan dia pada
ketentuan hukum atas dirinya. Karena dia tidak mau untuk dipersalahkan atas
perbuatannya.
Tidak akan mungkin muncul perasaan gembira dalam hati
seseorang ketika diperintahkan untuk menjalankan perintah agama apabila orang
itu tidak memiliki keimanan. Keimanan yang dimaksud disini berarti keyakinan
akan kebenaran seruan tersebut sebagai seruan Allah yang pasti akan mengandung
kebaikan dan pasti mampu untuk dilaksanakan oleh manusia. Serta yakin dengan
sebenarnya akan imbalan yang diberikan terkait perintah tersebut, apakah
imbalan itu berupa pahala bagi yang mengerjakan atau dosa dan siksa api neraka
bagi yang meninggalkannya. Selain itu ciri orang beriman adalah percaya dengan
syariat Allah dan yakin bahwa syariatnya pasti akan mengandung kebaikan. Sifat
yang harus muncul dari orang yang beriman adalah khudu’, ridho dan taslim.
Hanya dengan sifat-sifat inilah orang itu akan menjalankan ibadah puasa dengan
tanpa ada rasa keberatan sama sekali. Khudu’ yang berarti tunduk pada ketentuan
yang telah Allah tetapkan termasuk disini adalah ketentuan tentang wajibnya
berpuasa. Ridho artinya rela menerima dan tentunya menjalankannya tanpa ada
rasa brontak atau tidak terima. Taslim adalah pasrah yang berarti yakin bahwa
dibalik setiap perintah Allah pasti mengandung nilai kebaikan.
Persiapan
mengisi Ramadhan
Perhatian Rasul yang mencontohkan
pada kita untuk melatih iman dengan jalan menggiatkan amal sholeh di bulan Sya’ban
cukup memberi pelajaran bagi kita betapa mulia dan pentingnya bulan Ramadhan bagi
umat islam. Oleh karena itu bulan Ramadhan jangan sampai berlalu begitu saja
tanpa ada peningkatan atau perubahan yang lebih baik. Untuk melakukan perubahan
yang lebih baik, perlu ada dua hal yaitu aspek keilmuan dan kesungguhan.
Ilmu menjadi aspek mendasar untuk
melakukan revolusi amal. Karena semua amal itu harus berangkat dari sebuah
keilmuan, ilmu dalam amal seperti navigasi atau petunjuk yang berarti bahwa
ilmu itu mengarahkan supaya tidak tersesat pada amal yang salah. Dan Sa’id bin
Zubair ia berkata:
“Tidaklah diterima suatu
perkataan melainkan diiringi amal, dan tidak akan diterima perkataan dan amal
kecuali disertai dengan niat. Dan tidak akan diterima perkataan, amal, dan niat
kecuali disesuaikan dengan sunnah Nabi SAW”
Untuk mengetahui sunnah Nabi SAW,
maka tiada jalan lain kecuali hanya dengan belajar. Oleh karena itu dalam bulan
Ramadhan nanti hendaknya memperbanyak majelis ilmu. Di masjid, musholla
disediakan sarana untuk belajar lewat kultum atau bisa menempuh jalan lain
yaitu dengan mendatangkan ustadz ke rumah untuk belajar. Mulai dari belajar
membaca dan memperdalam Al-Quran, Fiqih, wawasan beragama, dan perkara lainnya.
Hal inilah yang harus benar-benar kita latih sejak sekarang dan dipersiapkan
untuk mengisi bulan Ramadhan nanti. Waktu dan kesempatan wajib untuk disediakan
dan diluangkan untuk hal itu. Dalam diri ini harus dimotivasi untuk meluangkan
waktu dan kesempatan, berapa jam dalam sehari yang diabdikan untuk Allah?
Sehingga seharian waktu tidak hanya habis untuk kepentingan dunia semata.
Meluangkan waktu
dan kesempatan harus benar-benar dipersiapkan dan direncanakan sebelum
Ramadhan. Selain itu untuk menyempurnakan amal tidak hanya perlu ilmu saja
tetapi juga perlu kesungguhan untuk melaksanakannya. Rasulullah SAW bersabda, “aamanuubillahi
tsummastaqim” (Berimanlah kepada Allah dan teguhkanlah). Keteguhan menjalankan
amal merupakan sarana untuk mengokohkan iman karena amal merupakan alat untuk
membina iman. Kesungguhan harus ditanamkan dalam menjalankan semua amal. Jika
setiap amal dijalankan dengan sungguh-sungguh, maka kita pasti akan mendapatkan
makna ruhiyah yang ada dibaliknya. Seperti halnya shalat, jika dikerjakan
dengan sungguh-sungguh, maka shalat itu akan mencegah diri dari perbuatan
maksiat. Kesungguhan harus ditanamkan dalam menjalankan semua syariat Allah
tanpa membeda-bedakannya karena semua syariat Allah itu saling mendukung.
Termasuk perintah untuk menegakkan shalat, yang dimaksud disitu adalah menjalankan
semua perintah Allah. Kewajiban menutup aurat, kewajiban berhukum, berpolitik,
kewajiban berdagang atau berbisnis tanpa riba, bergaul tanpa khalwat (berdua)
dan ikhtilat (bercampur) memerlukan kesungguhan untuk melaksanakan dan itu
semua harus diimani dengan keyakinan penuh bahwa semua itu adalah perintah
Allah yang harus dilaksanakan dan jika dilaksanakan pasti mengandung kebaikan bagi
kehidupan umat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar